Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #6

Cerita Bersambung (Cerbung) Bahtera di Laut Biru, Bagian 6 : Anak Band

Berawal dari sering kumpul-kumpul di rumah Marjun lalu nongkrong-nongkrong di pinggir jalan akhirnya timbullah inisiatif untuk membuat grup musik. Grup musik yang kami buat adalah gruf musik dangdut. Maklum saja saat itu sedang ngetren-nya musik dangdut. Orang-orang jarang yang mengenal  musik pop termasuk anak mudanya. Kami berkumpul untuk merencanakan membuat grup band itu di rumahnya Marjun. Kurang lebih kami berlima yang hadir bermusyawarah yaitu Hijrah, Husain, Mardium, Marjun, dan aku sendiri. 

Esok harinya satu persatu teman-teman yang lain mulai tertarik dengan rencana kami membuat grup band. Mereka siap untuk mendukung. Beberapa orang juga bersedia menggalang dana untuk pembelian alat musik. Bahkan sudah ada yang men-depe dengan maksud memancing teman-teman. Hari demi hari jumlah kami pun semakin banyak. Pada hari ke tujuh kami sudah berjumlah 20-an orang. Kami tidak menyangka antusias para pemuda. Tidak hanya laki-laki, perempuan ikut ambil bagian dan bersiap menjadi penyanyi. Kami sangat bersyukur dengan dukungan banyak pihak.

Suatu hari kami sibuk membereskan sound system untuk persiapan latihan. Ada yang mencari salon. Ada yang mencari microfon. Maklum saja, kami masih serba meminjam. Sementara Kak Rona, salah seorang tukang elektronik yang kami minta sebagai sound engineer. Pekerjaannya khusus merakit power dan mixer untuk band kami. Kami senang meonontonnya mengutak-atik komponen elektronik. Tangannnya sangat cekatan ketika meyambungkan kaki komponen dengan komponen yang lain dengan cara mematrinya.

“Di mana Kak Kak Rona belajar elektronik?” Tanyaku sambil melihat tangannya yang cekatan itu.

“Saya kan lulusan Malaysia,” jawabnyan terseyum.

“Wah, sekolah di Malaysia?” tanyaku lagi.

“Bukan, saya pergi merantau, tapi kebetulan mendapatkan nasip bekerja di pabrik elektronik.”

“Luar biasa, jarang-jarang lo yang bernasip seperti Kakak.”

“Sebenarnya tidak menyangka bisa bekerja di pabrik elektronik, ceritanya cukup panjang sehigga bisa sampai ke sana.”

“bagaimana ceritanya Kak.”

“Mau tau ceritanya?”

“Mau dong, siapa tau jadi inspirasi.”

Pengalaman memang guru yang terbaik. Pengaman memberikan banyak pelajaran berharga yang tidak diperoleh di bangku sekolah. Contohnya, Kak Kak Rona.  Ia mengeyam pendidikan formal cuma sampai MTs. Kemudian nasip membawanya pergi merantau ke Malaysia. Pada mulanya ia mendapatkan nasip yang kurang beruntung. Akan tetapi ketidakberuntungannya itu membawanya menjadi lebih beruntung.

Pertama kali masuk di daratan Malaysia Ia harus dikejar polisi. Ia harus menyelamatkan diri di dalam hutan saat malam hari. Ia terus berlari bersama teman-temannya. Hingga akhirnya mereka berpisah satu sama lain. Mereka berpencar untuk menghindari kepungan polisi. Entahlah, mungkin saja di antara mereka ada yang tertangkap atau bagaimana, sementara Kak Rona sendiri selamat namun sudah begitu jauh meninggalkan kota. Dia masuk di tengah hutan belantara dan tidak tau ke mana arah keluarnya.

Saat itu Kak Rona terus berjalan sedirian. Perjalanan yang ditempuh sudah cukup jauh sampai pagi hari tiba. Namun ia belum juga menemukan perkampungan. Baru ketika siang hari ia menemukan perkampungan kecil yang sangat terpencil. Saat itu ia sangat lapar dan haus sekali. Ia memberanikan diri untuk masuk ke salah satu gubuk.

Di dalam gubuk itu ditemukannya seorang kakek tua yang sedang meraut kayu. Pak tua itu pun terkejut melihat kehadirannya yang datang dengan tiba-tiba.

“Kamu siapa Nak?” tanya orang tua itu dengan logat Melayunya.

Kak Rona yang saat itu masih belum faham dengan bahasa Melayu  mencoba menerka-nerka apa yang diucapkan kakek tua tadi. Ia berusaha menjawabnya dan berharap tepat dengan apa yang ditanyakan orang tua tadi.

“Saya orang Indonesia yang sedang pergi merantau ke sini. Tapi tersesat karena semalaman dikejar oleh polisi di tengah hutan.”

Kening pak tua berkerut. Ia berusaha menafsirkan maksud ucapan Kak Rona. Tapi beruntunglah antara bahasa Melayu dan Bahasa Indonesa hampir sama, sehingga mereka tidak terlalu kesulitan dalam becakap-cakap.

Kak Rona terus melanjutkan ceritanya hingga selesai. Mendengar semua itu Kakek tua itu menjadi kasian. Pada akhirnya ia pun mau menerima Kak Kak Rona untuk tinggal sementara di gubuknya dengan catatan jangan keluar rumah atau sekedar jalan-jalan karena nanti orang-orang curiga dengan kehadirannya.

“Ini air nya Kek.” Tiba-tiba seorang gadis kecil datang membawa nampan yang berisi dua gelas teh dan sepiring pisang goreng.”

“O, ya Cu, kalau sudah matang, segerakan nasinya ke sini karena kisanak ini sangat butuh makan. Kelihatannya ia sangat lapar sekali.” Bisik kakek itu.

Sang gadis pun bersungut-sungut pergi meninggalkan tempat itu. Ia kelihatan girang melihat kedatangn tamu kakeknya kali ini.

“Dia adalah cucu saya yang ke sepuluh. Dia tinggal bersama saya dan neneknya di sini. Sedangkan orangtuanya tinggal di kota mengemban tugas. Entah mengapa ia memilih tinggal bersama kami di perkampungan terpencil seperti ini.”

“Mungkin dia suka dengan suasana asri di sini Kek.”

“Mungkin saja, kebetulan ia juga tidak memiliki saudara. Ia putri bungsu dari orangtuanya.”

Kak Rona mengangguk-ngangguk. Sembari mulutnya mengunyah pisang goreng hangat yang baru saja disuguhkan itu. Kentara sekali ia sangat lapar. Kemudian selesai ngobrol-ngobrol sebentar sang kakek mempersilakan Kak Rona untuk mandi. Sang kakek menunjukkan tempat mandinya di belakang rumah. Di sana terdapat pancuran yang sangat jernih airnya. Kak Rona pun segera menceburkan kepalanya di pancuran itu. terasa segar mengguyur seluruh tubuhnya. Maklum tiga hari ia tidak mandi semenjak berada di kapal.

Waktu sudah hampir sore. Terlihat orang-orang desa memikul cangkul dan bawaan lainnya dari ladang. Mereka beriringan berjalan. Tua muda terlihat kompak dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan mengais rezeki di ladang. Selain itu terlihat juga kerbau dan sapi yang mengikuti mereka dari belakang. Salah seorang memegang pecut dari belakang menghentak-hentakkan pecutnya. Sehingga sapi dan kerbau itu berjalan lebih cepat. Kak Rona melihat pemandang itu dengan mengintipnya dari dalam langgar milik Kakek Guna. Ia baru saja selesai melakukan salat asar di dalam sana. 

“Mas, ayo  Masuk ke rumah. Dipanggil sama kakek. Dia sudah menunggu di sana.” Sapa gadis cucu kekek itu dari luar sana.”

Kak Rona sedikit terperanjat. Dan ia segera melangkahkan kakinya menuju ke rumah di samping langgar. Setiba di dalam rumah sudah ada kakek Guna sedang duduk. Di depannya sudah ada makanan yang sudah siap di santap.

“Nah , kamu sudah datang. Sekarang kita makan. Kamu belum makan dari tadi. Cuma makan pisang goreng.”

“Wah, jadi merepotkan Kek.”

“Tidak, tidak sama sekali. Kamu saya anggap cucu sendiri. Dan kamu juga harus menganggapku sebagai kakek. Dan ini anggap saja rumahmu sendiri.”

“Terima kasih kek,”

“Ayo disapa nasinya. Cuma ada sayur bening dan lauk ikan asin. Biasa makanan pelosok.”

“Ini lebih dari cukup Kek.”

Mereka berdua makan dengan lahap. Lebih-lebih Kak Rona yang dua hari tidak pernah makan nasi. Tapi ia berusaha pelan-pelan memasukkan nasi ke mulutnya supaya tidak terkesan rakus. Makanan-makanan yang disajikan itu benar-benar terasa nikmat di mulut Kak Rona.

Begitu selesai makan mereka melanjutkan percakanpan mereka. kali ini Kak Rona yang membukanya. Ia ingin menanyakan soal langgar tempatnya salat asar tadi. Rupaya ia penasaran juga dengan keberadan langggr itu. 

“Langgar itu milik kakek ya?”

“Benar sekali. Itu adalah musalla yang saya bangun sepuluh tahun yang lalu. Masayarakat di sekitar sini biasa melakukan ibadah salat berjamaah di situ. Setiap malam anak-anak juga mengaji. Kalau bulan Ramadan tiba langgar itu sangat ramai. Dipenuhi oleh jamaah tua maupun muda.”

“Nah, kalau letak Masjid di mana Kek?”

“Masjid cukup jauh dari sini. Sekitar sau kilometer.”

“Jadi kalau pergi jumatan bagaimana Kek?”

“Kakek naik pedati.”

“Berarti orang-orang di sini jumatan di sana ya Kek?”

“Ya,  ada yang jalan kaki dan ada yang naik pedati juga.”

“Mengapa tidak dibuat Masjid di sini saja Kek?”

“Rencananya dua tahun mendatang masyarakat di sini sudah mulai membangun Masjid. Jumlah kami yang laki dewasa juga baru-baru ini mencapai 41  orang.  Syaratnya kan 40 orang baru bisa salat jumat.”

Kakek pun tertawa lucu. Terlihat ada keceriaan di wajahnya. Begitu pula Kak Rona, rasa trauma yang sempat menghinggapinya kini berangsur-angsur menghilang. Namun begitu, tatkala sendiri ia Masih mengingat kejadian yang baru saja menimpanya itu. Ia benar-benar merasakan sesuatu yang ganjil dalam hidupnya tatkala mendapatkan nasip buruk di kejar oleh polisi di tengah hutan.

“Kamu bisa ngaji?” Lanjut kakek.

“Insya Allah kek.”

“Nah, nanti malam kakek minta kamu bimbing adik-adikmu di langgar bersama Pertiwi.”

“Pertiwi siapa kek.”

“Itu, cucuku yang perempuan tadi itu.”

“Oh, InsyaAllah Kek,”

------------------------------------------------------------

BERSAMBUNG .........................
BASINDON
BASINDON Blog pelajaran bahasa Indonesia SMP/MTs (materi, soal, dan perangkat pembelajaran), serta Pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia (umum)

Post a Comment for "Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #6"