Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #2

Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru, bagian #2

Kalimutu

Suatu hari dua orang kakakku pulang dari tempat kerja. Mereka berkerja di tambang batu bara. Mereka adalah Tami dan Hasim. Sekitar setengah tahun mereka tidak pernah pulang.  Kini mereka datang membuat ayah dan ibu terlihat gembira. Tapi tiba-tiba kami merasa ada yang aneh saat melihat mereka datang. Kakakku yang satu yaitu Hasim terlihat tertawa-tawa. Ayah dan ibu saling berpandangan.

“Dia kenapa” Tanya ibu kepada Tami.

Dengan isyarat mata Tami mengajak ayah dan ibu ke belakang. Seperti biasa aku selalu mengikuti kemana langkah ibu. Aku pun ikut mendengarkan percakapan mereka.

Kak Tami pun mulai bercerita. Katanya suatu hari Kak Hasim pergi membuat sumur di kawasan tambang batu bara. Sebab saat itu mulai tidak ada air karena musim panas. Lantas berinisiatiflah Kak Hasim membuat sumur. Setelah dua hari sumur itu digali airnya belum juga keluar. Baru di hari ketiga sumur itu tiba-tiba berair. Namun seakan-akan kakakaku menjadi tumbalnya. Ia menjadi gila. Sejak itu, kakakku tertawa-tertawa sendiri. Tami pun panik sehingga cepat-cepat membawanya pulang.

Benar saja, semakin hari penyakit Kak Hasim semakin parah. Ia sering keluyuran keluar rumah. Ia menjadi tontonan warga akibat kelakuannya yang aneh-aneh. Hingga ia dipasung di dalam rumah. Kedua kakinya diikat pada batang pohon randu. Sejak saat ia tidak bisa ke mana-mana. 

Di lain waktu ikatan kaki Kak Hasim terlepas saat orang-orang pergi ke ladang. Ia hilang beberapa hari lamanya. Ayah dan kak Tami mencarinya ke mana-mana. Tiba-tiba ia ketemu di tempat yang sangat jauh.

Kemudian pada suatu malam selesai makan ayah memiliki rencana, “Bagaimana kalau saya bawa saja ia pulang ke Lombok, mungkin di sana ia bisa sembuh,” Kata Ayah seperti sudah mau putus asa.

“Ya, bawa saja dia pulang,” Sahut ibu setuju. 

Semua keluarga sepakat, Kak Hasim akan di bawa ke Lombok oleh ayah. 

“Nanti saya akan ditemani oleh Tami,” kata ayah. Tami pun terlihat mengangguk.

Akhirnya ayah pergi bertiga ke Lombok. Tapi ayah tidak terlalu lama di sana. Karena pekerjaannya di ladang nanti terbengkalai.

Setelah dua minggu ayah datang lagi sendirian. Kak Tami diam di Lombok untuk merawat Kak Hasim.

Semenjak kak Hasim pulang ke Lombok kami sudah tidak bisa tenang. Ayah tidak fokus bekerja di ladang. Ibu juga tidak bisa tidur memikirkan Kak Hasim. Sebab, mereka tidak tau keadaannya bagaimana. Kak Tami mungkin kewalahan menjaganya sendirian. 

 “Kalau begini terus sepertinya kita harus pulang semua ke Lombok,” kata ayah sambil menatap ibu dengan tatapan lesu. Tapi saat itu ibu diam saja. Tatapannya terlihat kosong.

“Kita berangsur-angsur caranya,” ucap ayah lagi.

“Saya ikut kata ayah saja,” akhirnya ibu pun nyeletuk.

“Apa ada sisa uang untuk kalian bawa pulang duluan?”

“Sepertinya belum cukup, saya harus menabung dulu,” sahut ibu.

“Nanti Ibu, Muslini, dan Abdul yang duluan pulang. Biar saya sama Jeda belakangan,” Sambung ayah.

Sejak saat itu ibu mulai menabung. Ayah mulai rajin bekerja. Dibantu pula oleh Kak Jeda. Rencananya bulan depan kami sudah bisa pulang. Kemudian satu minggu sebelum ke Lombok  ayah mulai mengurus surat pindahku dari sekolah. Aku merasa sedih saat harus meninggalkan sekolah di sana. Pak Yatiman, guru kelasku mengusap-usap kepalaku. 

“Kamu rajin-rajin di Lombok ya, Nak,” katanya. 

Pak Yatiman memang sangat menyayangiku. Dia sering memuji hasil lukisanku. katanya lukisanku bagus. Itu yang selalu terngiang di telingaku sampai sekarang.

Pada akhirnya ibu memecahkan celengannya. Aku ikut menghitungnya. Muslini mengikatnya seribu-seribu setiap satu ikat. Karena saat itu uangnya berupa koin semua. Ada yang Rp50 dan Rp100. Jumlah keseluruhannya sudah cukup untuk ongkos bertiga ke Lombok. Ibu pun mulai mengemas barang-barangnya. 

Malam itu malam terakhir kami di Kalimantan. Ayah menyuruh kami tidur lebih awal. Sebelum tidur ibu membakar racun nyamuk. Kemudian diletakkan di sebelah tidurku.  Tiba-tiba pagi harinya asap mengepul di dalam kamar. Aku merasa sesak napas. Api mulai menjalar di samping kepalaku. Beruntung tidak sampai menyentuh rambut. Sedangkan bantal yang aku pakai sudah ludes sebelah. Ibu sangat terkejut dan langsung membuang bantal itu keluar lewat jendela. 

“Pertanda apa ini?” kata ibu dengan wajah yang kusut.

Hari itu kami berangkat menuju Banjarmasin. Ayah juga ikut mengantarkan kami. Satu malam kami menginap di loteng untuk menunggu pemberangkatan kapal. Esok paginya baru kami menuju ke pelabuhan. Ayah memberikan kami tiket yang sudah dipesannya. 

Kapal yang berukuran sangat besar sudah terlihat sandar di tepi pelabuhan. Baru kali ini aku melihat kapal sebesar itu. Kata ayah kapal itu tujuh tingkat. Dalam benak terbayang suatu saat aku bisa melukis kapal besar itu. Namanya Kalimutu. Aku menarik tangan ibu untuk mendekat. Aku tidak sabar ingin segera menaikinya. 

Suara sirine pun berbunyi. Membuat kami bertiga terkejut. Orang-orang berlari menaiki tangga kapal. 

“Ayo naik,” kata ayah. “Nanti kalian terlambat.”

Terlihat ayah memeluk ibu. Ayah juga memelukku dan kak Mus. “Hati-hati di jalan,” pesan ayah. 

Kami bertiga tergopoh menaiki tangga kapal. Para ABK mengingatkan kami untuk berhati-hati. Sampai di dalam aku terpana melihat kapal seluas itu. Di dalam lebih terlihat seperti pasar malam atau mall. Kami mencari tempat yang pas. Kami memilih di pinggir dekat lubang jendela. Terlihat ayah melambai-lambaikan tangannya. 

Satu jam kemudian bel makan siang berbunyi. Orang-orang berduyun-duyun menuju ke tempat pengambilan jatah makan. Kita disuruh membawa tiket sebagai syarat untuk mendapatkan nasi dan lauk. Aku mulai paham bahwa setiap kali mengambil jatah makan tiket itu akan disobek oleh petugas. 

Dua hari dua malam kami berada di atas kapal. Setelah itu barulah terlihat pulau. Rasa penasaran menyeruak di dadaku. Seperti apa Pulau Lombok itu. kata orang pulau Lombok itu kecil namun gunungnya besar. Benar saja, saat merapat di pelabuhan Lembar terlihat gugusan gunung dan perbukitan membentang. Suasanannya memang benar-benar berbeda. Sepanjang perjalan di atas mobil engkel (bus) aku selalu menengok keluar melihat Gunung Rinjani yang menjulang tinggi. Aku juga baru pertama melihat hamparan persawahan yang hijau. Sebelumnya aku belum melihatnya di Kalimantan. 

Mobil melaju kencang menuju ke Lombok Timur. Kami menuju wilayah yang bernama Dasan Tumbu, Suralaga. Di sana adalah tempat asal kedua orang tuaku. Setelah turun dari mobil kami menlanjutkan perjalanan menggunakan becak. Lagi-lagi aku merasakan pengalaman baru. Sebelumnya aku tak pernah naik becak. Aku memilih duduk di samping kiri pak kusir. Mirip lirik dalam lagu “pada hari minggu aku pergi ke kota...”

Keluarga terlihat menyambut kedatangan kami. orang-orang juga ramai berdatangan. 

“Ini anak ibu yang terakhir?” kata salah seorang dari mereka.

“Ya, ini yang lahir di Kalimantan,” jawab ibu.

Sedangkan kak Mus bercengkrama dengan teman-teman lamanya. Terutama sepupu yang seumuran dengannya. Mereka seperti kangen-kangenan karena sudah lama tak bertemu. Dan untuk sementara waktu kami akan tinggal di rumah saudara ibuku. Sambil menunggu ayah menyusul pulang. 

Sejak saat itu aku mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan. Tidak butuh waktu lama untuk bisa punya teman akrab.  Aku pun mulai bersekolah di SDN 05 Suralaga. Aku mulai banyak teman baru di sana. Saat sekolah aku suka melukis kapal Kalimutu. Teman-teman senang melihatnya. Tak jarang mereka menyuruhku membuatkan mereka kapal Kalimutu. Kapal yang sempat aku naiki itu benar-benar telah menginspirasiku.

BASINDON
BASINDON Blog pelajaran bahasa Indonesia SMP/MTs (materi, soal, dan perangkat pembelajaran), serta Pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia (umum)

Post a Comment for "Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #2"