Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #7

Semenjak tinggal di rumah kakek, Kak Rona selalu menjadi imam salat di musalla. Setelah itu ia membina anak-anak untuk mengaji. Ia sangat aktif di musalla. Orang-orang sangat senang mendengar suaranya jadi imam apalagi membaca al-Quran. Suaranya sangat merdu. Ketika pertama kali jadi imam, orang sempat bertanya-tanya. Siapa gerangan orang yang suaranya menyayat-nyayat itu. Saat itu Pertiwi langsung menjawab rasa penasaran orang-orang tersebut. Pertiwi merasa bangga punya teman baru yang memiliki kemampuan luar biasa. Ia semakin ceria dalam menjalani hidupnya. Di saat sekolah pun ia selalu menceritakan keberadaan Kak Rona di rumahnya.

“Bagaiman ciri-ciri fisiknya Tiwi? Tanya temannya di suatu ketika.

“Dia putih, hidungnya agak mancung. Alisnya tebal, dan rambutnya hitam lurus. Pokonya dia  itu, gitu deh,  kalau kamu lihat pasti kamu naksir.”

“Berarti kau sudah naksir duluan dong.”

“Ah, nggak. Dia kan seperti saudara aku. Kami sering makan bersama di rumah, main bersama, ngaji bersama, dan lain-lainnya.” Jawab Pertiwi.

“Ah, nggak mungkin. Yang jelas dia kan bukan saudara kandung kamu. Dia orang yang nggak sengaja datang ke rumah kamu dan dia numpang di rumah kakek kamu.”

“Dan yang jelas sekali lagi dia sudah seperti saudaraku. Aku merasa dia adalah kakak yang baik . Dan aku sangat merindukan sosok kakak seperti dia,”

Begitulah Kak Kak Rona selalu diperbincangkan. Sehingga teman-teman Pertiwi sangat penasaran ingin melihat langsung bagaiaman sebenarnya sosok Kak Rona. Sehingga mereka rencananya ingin berkunjung ke rumahnya Pertiwi untuk melihat Kak Rona.

“Tunggu dulu, jangan keburu nafsu. Kak Rona orangnya pemalu. Dia nggak suka dekat-dekat dengan gadis. Dekat sama aku aja dia sangat malu.”

“Nah, aku dah mulai curiga ni, kamu pasti sudah mulai tertarik dengan kakak angkatmu itu, kamu takut kalau da yang ganggu. Tenang aja Wi, kami cuma pingin  lihat kok.”

“Ah, kamu ada-ada aja. Sudah kujelasin Kok.” Sahut Pertiwi tertawa.

Hari-hari yang dialui oleh Kak Rona semakin terasa menyenangkan. Ia hampir lupa dengan kampung halamannya.  Ia sudah betah tinggal di ruma kakek. Namun di dalam hati kecilnya sebenarnya ada perasaan malu yang begitu dalam. ia ingin membalas jasa-jasa kekek itu dengan cara lain. Semisal bekerja di ladang, namun sang kakek tidak megijinkannya. Dengan tekun di musalla saja bagi kakek sudah sangat bersyukur karena ada yang membantunya jadi imam. Karena selama ini cuma kekek yang mau memakmurkan musalla itu. Cuma dia yang tau sedikit soal agama. Sedangkan masyrakat lainnya cuma sibuk dengan urusan dunai, dan terkadang buta dengan agama. Itulah sebanya kakek berjuang untuk membina masyarkat di sekitar itu dengan cara membangun musalla.  Dan sepeserpun ia tidak memungut biaya kepada masyarakat untuk membangun musalla itu. Untuk membangun musalla itu ia menjual sebagian ladangnya. 

Ketika membangun musalla begitu banyak rintangan yang dihadapi oleh kekek. Banyak masyarkat yang tidak percaya kalau kakek bisa membangun musalla. Lebih-lebih dengan biaya sendiri. Namun dengna tekad yang kuat kakek berusaha mewujudkan cita-cita mulianya itu. Terbukti dalam beberapa lama saatnya musalla yang berukuran 10 x 8 meter persegi itu rampung dan berdiri kokoh. Sehigga rencana ke depan musalla itu akan dijadikan masjid. Semua masyarakat menyetujuinya. Mengingat jarak masjid yang begitu jauh. Banyak masyarkat yang jarang melakukan salat jumat hanya karena alasan jarak tempuh yang sedikit renggang itu. Kakek tidak sabar ingin segera membuatnya musalla jadi masjid.  Sehingga ia berharap masyarakt tidak ada yang meninggalkan salat Jumat. Dan Rencana itu sudah disepakati pula oleh kepala  kampung. Tinggal menunggu waktu yang tepat. Dan keinginan masyarakar agar peresmiannya nanti pada bulan ramadan yang tinggal beberapa minggu lagi.

Begitu bulan ramadan tiba. Musalla  yang dibangun Kakek pun resmi dijadikan Masjid. Ukurannya yang cukup besar cukup menamung jamaah di sekup wilayah tersebut. Masyarakat sangat antusias dengan peresmian itu. Persmian musalla menjadi masjid itu dihadiri langsung oleh pejabat daerah setempat. Dan pada kesempatan itu pula sang kakek mendapatkan kehormatan untuk menyampaikan sepatah dua patah kata di depan hadirin. Pada kesempatan itu pula sang kakek secara resmi mengumumkan bahwa tanah pekarangan tempat musalla itu berdiri beserta bangunannya mulai sejak itu telah diwakafkan kepada khalayak umum. Sehingga status kepemilikannya sudah tidak menjadi miliknya lagi tapi menjadi milik masyarakat. Tepuk tangan riuh dan haru membahana memenuhi isi ruang musalla itu.

Setelah persemian selesai barulah dibentuk pengurus masjid,  saat itu para tamu undangan dari pemerintahan sudah menerima ala kedarnya dan dipersilakan untuk kembali ke tempat tugas. Kini tinggal tokoh masyarakat setempat dan segelintir pemuda diam di musalla. Musyawarah pun berjalan dengan alot. Dan pembentukan pengurusu Masjid pun tdak mengalami hambatan yang banyak. Sementara yang terpilih sebagai ketua saat itu adalah kakek sendiri sebagai penghormatan atas jasa-jasanya. Sedangkan orang-orang yang lain Masih belum siap. 

Sementara itu Kak Kak Rona bersama Pertiwi sibuk mengedarkan air minum dan alakedarnya yang berupa jajan ringan. Ia dibantu oleh beberapa pemudi lainnya. Semua biaya kegiatan peresmian itu dilakukan oleh seluruh masyarakat. Semenjak itu pula masyarakat di sekitarnya mulai kompak soal urusan Masjid. Mulai dari membuat hidangan zikiran menyambut ramadan. malam nuzulul Quran, di hari lebaran dan hari-hari besar lainnya. 

Ketika Jumat pertama di masjid itu, Kak Rona bertugas menjadi khatib. Kak Rona  memberanikan diri meskipun belum pernah sama sekali manjadi khatib. Semalaman ia belajar menjadi khatib di dalam kamar. Kemudian sempat praktik juga di depan Pertiwi. Sehingga pada esok harinya ia sudah mantap menjadi khatib. Sedang rukun dan syaratnya memang pernah di pelajarinya sejak di bangku sekolah aliyah. Dan beruntung ada buku khatib milik kakek yang siap untuk dipergunakan.

Kakek memang suka megoleksi buku-buku agama. Ada sekitar satu rak kecil penuh dengan buku-buku. Kakek sangat gemar mendalami ilmu-ilmu agama. Padahal ia cuma tamatan sekolah dasar. Tapi kemampuan mmembacanya setara dengan tamatan SMA sekarang. Begitu pula ilmunya sudah cukup banyak berkat ia rajin membaca.

Di masjid itu kini Kak Rona menjadi panutan. Saat waktu salat tiba ia mengumandangkan azan dengan segera. Ia dianjurkan oleh kekek untuk mengajak masyarakat untuk salat berjamaah. Meski satu dua orang yang ikut berjamaah. Maklum kalau siang hari masyarakat sibuk di ladang. Paling pertiwi  yang jadi makmum. Kalau kakek yang jadi imam barulah Kak Rona dan pertiwi yang jadi makmum. Namun di hari-hari berikutnya kesadaran masyarakat mulai tumbuh, satu dua orang mulai berdatangan berjamaah. Lain halnya malam hari, hampir semua masyarkat berduyun-duyun ke masjid untuk melakukan salat tarawih.


BASINDON
BASINDON Blog pelajaran bahasa Indonesia SMP/MTs (materi, soal, dan perangkat pembelajaran), serta Pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia (umum)

Post a Comment for "Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #7"