Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #4

Cerita Bersambung (Cerbung): Bahtera di Laut Biru, bagian 4

Anak Panti

Hari-hari yang kulalui terasa hampa. Tapi seiring bergantinya waktu aku mulai bisa menjalani hidupku tanpa ayah. Lebih-lebih ketika aku dimasukkan ke panti asuhan. Di sana aku bergaul dengan banyak teman sesama anak yatim. Bahkan ada yang yatim piatu juga. Sehingga aku berpikir bukan cuma aku yang tak punya ayah. 

Aku mulai menjalani hidup baru di panti asuhan. Hari-hariku disibukkan dengan kegiatan belajar dan mengaji. Kami digembleng dengan sangat disiplin oleh pengasuh kami. Pukul 03.00 pagi harus bangun shalat tahajud. Kami harus shalat berjamaah. Kemudian sebelum belajar kami tidak dipebolehkan tidur. Masa-masa itu juga benar-benar membentukku menjadi remaja yang mandiri. Tapi sayang, aku hanya melewati masa-masa indah di panti asuhan itu selama dua tahun. Yaitu kelas 5 sampai dengan kelas 6. Sebab panti asuhan yang dikelola oleh masyarakat itu berhenti. Entah apa yang menyebabkannya bubar begitu saja. Padahal anak-anak yatim sangat membutuhkan pendidikan semacam itu. Mereka membutuhkan komunitas yang dapat menguatkan hati dan perasaan mereka. 

Setelah mondok di panti asuhan selama dua tahun aku pun akhirnya kembali ke pangkuan ibu. Aku tinggal bersama ibu dan ayah tiri. Sebab selama di panti asuhan ibuku menikah lagi. Sedangkan semua saudaraku pergi merantau. Kak Tami dan Kak Mus pergi ke Malaysia. Kak Hasim di Sumatera, sedangkan Kak Jeda masih di Kalimantan.

Selama tinggal di rumah ayah tiri aku digemleng menjadi petani. Saat itu aku sudah duduk di bangku MTs. Dan aku sudah mulai mengerti sulitnya mencari makan.  Dan saat itu aku sudah merasa malu menyuapkan nasi jika tidak bekerja. 

Setiap pulang dari sekolah aku pergi ke sawah untuk membantu ibu dan ayah tiriku. Aku harus berjalan kaki sejauh 3 kilometer untuk sampai di sawah. Kemudian aku pulang dekat-dekat magrib juga dengan berjalan kaki. Bila hari libur aku akan berangkat pagi-pagi bersamaan dengan ibu dan ayah tiriku. Kadang rasa cape dan bosan menghantuiku. Begitu pula rasa malu saat berjalan kaki. Sebab orang-orang yang memakai sepeda motor banyak yang melihatku. Terutama para tetangga-tetangga atau pun orang-orang yang sekampung denganku. Kadang di antara mereka ada yang mangajakku naik motornya. Sesekali aku naik bila mereka terlalu memaksa. Tapi aku lebih banyak menolak.

Suatu hari Kak Hasim pulang dari rantau. Ia pulang membawa sepeda. Sejak saat itu aku belajar bersepeda. Aku harus bisa memakai sepeda. Sebelumnya aku hanya menuntun sepeda Kak Hasim sampai di sawah. Kemudian di sana aku mulai belajar sendiri bersepeda. Karena kalau belajar bersepeda di rumah terlalu ramai. Aku malu dilihat orang. Karena sendirianku yang belum bisa bersepeda. 

Hari terus berganti hingga aku tumbuh menjadi remaja. Aku mulai bergaul dengan banyak orang. Tapi orang-orang mengenalku sebagai anak yang pendiam. Sebab kalau ada perbincanagan aku jarang ikut berbicara. Aku hanya menyimak perbincangan mereka. Begitu pula bila ada permainan anak-anak, aku lebih banyak menjadi penonton. Misalnya main gobak sodor, main kejar-kejaran, main gasing, bahkan juga main layang-layang. Entah mengapa aku tidak selalu tertarik dengan permainan-permainan semacam itu. Mentalku telalu lemah bila terjadi ketengan-ketengangan. Sehingga aku memilih diam saja, atau sekedar ikut nimbrung tapi tidak ikut bermain.

BASINDON
BASINDON Blog pelajaran bahasa Indonesia SMP/MTs (materi, soal, dan perangkat pembelajaran), serta Pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia (umum)

Post a Comment for "Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #4"