Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #3

Cerita Bersambung (Cerbung): Bahtera di Laut Biru, bagian 3


Ayah Pulang

Malam itu udara sangat dingin. Angin berembus sangat kencang. Suara pohon bambu di belakang rumah mendesis. Air sungai terdengar mengalir deras. 

Kini kami tinggal di rumah saudara ayahku. Pindah dari rumah sebelumnya milik saudara ibuku. Tapi masih satu kampung di Dasan Tumbu. 

Pada tengah malam tiba-tiba pintu terdengar diketuk. Ibuku bangun. Tetapi ia ragu untuk membuka pintu. Sekali lagi pintu itu diketuk.

“Siapa,” kata ibu.

“Ini, aku ayah,”

Ibuku langsung melombat menuju daun pintu. Aku yang saat itu juga terbangun langsung bangkit. Kak Mus masih melenguh. Sepertinya dia tidak tau siapa yang datang.

Kulihat ayah terlihat lusuh karena kecapean. Ia membawa oleh-oleh dan langsung membukanya. Ada salak dan rambutan. Kak Mus segera dibangunkan.

“Kok, malam-malam sekali,” kata ibuku.

“Ya, terlambat naik bus tadi di Bertais,” sahut ayah. “O,ya bagaimana keadaanya Hasim,” Sambung ayah.

“Dia sudah sembuh, tapi dibawa pergi ke Malaysia oleh Tami. Katanya di sini tidak ada pekerjaan.”

“Apa ia sudah benar-benarsembuh?”

“Ya, boleh dikatakan begitu,”

“Syukurlah.”

Ayah dan ibu berbincang-bincang sampai larut malam. Sebelum terlelap aku sempat mendengar kalau ayah sedang sakit tumor di matanya.. Itu juga yang menyebabkan dia terlambat pulang ke Lombok. Ia sempat mencari obat di sana. Tetapi belum bisa sembuh dan malah membesar. 

Pagi-pagi kulihat daging tumbuh yang membesar di mata sebelah kiri ayah. Aku kasian melihatnya. Tumor itu sudah hampir menutupi matanya. Semalam kudengar ia meradang. Mungkin ia kesakitan.

Beberapa hari kemudian tumor ayah semakin membesar. Sebesar telur bakso yang berukuran besar. Penglihatannya mulai terganggu. Ia selalu menutupinya dengan handuk. Setelah mendapatkan kabar, kakak saya yang paling sulung membawanya berobat ke rumah Sakit Daerah. Namun karena tidak mampu diatasi, ayah langsung dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar di Mataram. Saya ikut bersama ibu dan Kak Mus. Selama satu minggu kami di sana. Akhirnya ayah dioperasi. Kami merasa sedih, ayah harus kehilangan penglihatannya sebelah. Mata ayah tidak bisa diselamatkan karena diserang oleh tumor ganas. Keluarga kami harus pasrah menerima kenyataan. 

Satu bulan kemudian, ayah kembali diserang oleh tumor ganas itu. Kali ini ia tumbuh di belakang cupingnya. Dalam beberapa minggu tumor itu sudah membesar dan hampir menutupi kuping ayah. Kami tidak tega melihat ayah. Ibuku juga sering sedih. Uang untuk berobat tidak ada. Ayah mulai lemah dan tidak bisa bekerja. Sementara Kakakku yang paling Sulung itu sudah tidak ada di rumah. Ia pergi ke Malaysia mengantar anak buahnya. Jadi kami harus merawat ayah seadanya. Mengobatinya dengan obat-obat dari puskesmas. Sesekali ibu mencarikan ayah obat tradisional.

Para tetangga banyak yang datang membesuk. Keluarga juga selalu kumpul di rumah untuk melihat keadaan ayah. Ada yang menyarankan ini ada yang menyarankan itu. Terutama pengobatan tradisional. Tetapi tidak ada perubahan sama sekali. Hingga pada akhirnya ibu pasrah dan hanya menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa.

Hari berganti hari, kondisi ayah sudah sangat kritis. Kali ini ayah sudah tidak bisa bangun sendiri. Untuk pergi ke kamar kecil pun harus dipapah oleh ibu. Makan juga disuapi. Hingga akhirnya tiba waktunya. Ayah benar-benar hilang ingatan. Keluarga berkumpul untuk membacakan yasin. Air mata ibu mengalir. “Apa pun yang terjadi, itulah yang terbaik,” kata ibu. Tiba-tiba ayah siuman. Ayah mulai mengingat dunia. Ayah juga mulai berbicara walau kurang jelas. Ia minta air minum. 

“Jaga anak-anak,” kata ayah.

Ibu mengangguk sambil memegang tangan ayah. Air matanya tidak berhenti mengalir.

“Mana Abdul,”

“Ini dia, Mus juga sudah ada di sini.” Sahut ibu.

Ayah tersenyum tipis. Ibu merapikan selimut ayah. Yang lainnya sudah berhenti mengaji. Lalu beberapa menit kemudian ayah kembali lemah. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya terdengar lirih mengucapkan syahadat. Saat yang sama napas ayah pun sudah terhenti. Maka berakhirnya dunianya ayah. Beliau telah pergi untuk selamanya. Semoga beliau khusnul khotimah. Semuanya yang hadir disitu sudah merelakan. Melepas kepergian ayah dengan hati yang reda.

Malam itu aku tidur di samping jasad almarhum ayah. Ini adalah kali terakhir aku bersama beliau. Aku tidak ingin membuang kesempatan itu. Aku memeluk erat tubuh ayah.

Setelah satu bulan kepergian ayah. Saat itu aku baru berumur 9 tahun. Aku masih duduk di bangku kelas 4. Masa-masa di mana aku masih membutuhkan sosok ayah. Sosok panutan tempatku mengeluh dan mengadu. Sehingga kadang aku memikirkan ayah. Saat-saat tertentu aku merindukan beliau. Aku rindu kehadiran beliau. Setiap kali aku melihat orang tua aku selalu teringat ayah. Sehingga pernah suatu ketika ada orang tua yang kuanggap mirip sekali dengan sosok ayahku. Tubuhnya kekar dan berkulit legam. Kepalanya sedikit beruban. Orang itu benar-benar mengingatkanku kepada ayah. Aku ingin memanggilnya, lalu memeluknya, tapi aku malu. Lalu orang tua itu pergi begitu saja. Karena memang ia tidak mengerti dengan perasaanku saat itu.

BASINDON
BASINDON Blog pelajaran bahasa Indonesia SMP/MTs (materi, soal, dan perangkat pembelajaran), serta Pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia (umum)

Post a Comment for "Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #3"