Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #1
Cerita Bersambung (Cerbung) | Bahtera di Laut Biru, bagian #1
Anak Ladang
Gerimis turun membasai awal Januari. Pohon-pohon, bunga-bunga, rumput-rumput, atap-atap rumah, juga kendaraan yang melintas di jalanan basah oleh air yang tercurah dari langit. Suasana kampungku mulai teduh oleh naungan awan hujan. Aroma tanah basah menyeruak. Bau-bau kesuburan mulai menjelma pada setiap hembusan udara. Ini adalah hari pertama di tahun ini. Gerimis di pagi ini telah membawaku jauh pergi dari suatu khayalan ke khayalan yang lain. Dari suatu pertanyaan ke pertanyaan yang lain. Lalu dari suatu perasaan ke perasaan yang berbeda. Dan tanpa sadar aku telah singgah pada masa lalu, masa kecilku yang penuh kisah dan kesah, dari yang pahit sampai yang legit, dari yang perih sampai yang gurih. Kisah-kisah itu telah memenuhi ruang kehidupanku. Hingga kini aku menjelma menjadi sebuah lukisan kehidupan yang amat kompleks. Lalu aku menyadari aku telah dewasa. Dan saatnya aku bercerita.
Aku terlahir dengan nama Abdul. Dilahirkan di Sebanban I Blok B Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Kota Baru Kalimantan Selatan. Orang tuaku berasal dari Pulau Lombok. Mereka pergi ke Kalimantan dalam rangka program transimigrasi pada tahun 80-an. Aku dibesarkan dengan penuh cinta di Pulau Seribu Sungai itu. Di sana aku bisa menyaksikan rimbunnya ilalang. Aku juga dapat melihat belantara yang membentang. Aku suka bermain di ladang. Aku sering pergi memancing. Aku juga suka main kejar-kejaran di atas pohon jambu mente, layaknya sekawan monyet, kami melompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Sungguh masa-masa yang indah itu sulit untuk kulupakan.
Suatu hari aku pergi memancing bersama teman. Namanya Suprianto. Sesuai karakter namanya ia adalah orang Jawa. Saat itu baru selesai turun hujan. Air sisa hujan masih terlihat menetes pada daun-daun. Langit masih mendung namun sudah tidak terlalu tebal. Kami berjalan menyusuri jalan setapak. Baju kami sedikit basah karena disapu daun-daun yang masih menyimpan air hujan. Jalannya pun agak licin tetapi tidak membuat kami takut terpeleset. Kami terus berlari-lari seperti orang kebelet mau buang air besar.
Kegiatan memancing pun dimulai. Satu persatu aku mengangkat ikan dari sungai yang keruh. Begitu pula Supri terlihat lebih sering mendapatkan ikan. Aku pun semakin semangat. Hingga tanpa terasa matahari sudah mulai tegak lurus di atas kepala.
“Kita pulang, Yuk!” Pintaku pada Supri
Supri masih terlihat asyik. Sesekali ia berteriak-teriak kegirangan. Tapi setelah itu ia terlihat turun ke sungai untuk mengangkat pancingnya yang tersangkut.
“Nah, itu tandanya kita disuruh pulang,”
“Ya, kita pulang, tapi tunggu aku mengambil kailku dulu.”
Sambil menunggu Si Supri yang turun ke kali. Aku pun menghitung-hitung jumlah ikan yang kudapat hari itu. Lumayan, lebih dari hitungan jari.
Terlihat Si Supri naik dengan basah kuyup. Aku hanya melebarkan mata. Dan dia mulai memeriksa ikan yang didapatkan.
“19 biji,” katanya.
“Kita apakan ikan-ikan ini?” Tanyaku
“Kita goreng di rumahku.”
Sambil membayangkan ikan di penggorengan kami pun bergegas pulang. Perut juga sudah mulai keroncongan. Sejak tadi kami hanya minum air sungai.
Tiba di rumah Supri kami langsung membesihkan ikan-ikan yang kami dapatkan. Rencananya kami akan menggorengnya sendiri. Tanpa dibantu oleh ibunya Supri. Karena Si Supri juga sudah biasa memasak sendiri. Tangannya terlihat cekatan. Mulai dari menyisik ikannya, membuat sambal, dan menggorengnya. Saya seperti melihat seorang shef terkenal.
Bebera menit kemudian ikan-ikan yang digoreng Supri pun sudah siap disantap. Nasi putih hangat juga sudah dihidangkan oleh ibunya Supri. Aku tidak sabar ingin segera melumat habis ikan-ikan yang terlihat renyah itu. Lalu kami pun makan siang dengan lahap. Rasa sambalnya pas. Si Supri minta nyangkul nasi. Aku juga ikut nyekop.
Selesai makan aku pun pamit untuk pulang. Ibunya mengingatkanku agar hati-hati di jalan.
“Sampai jumpa di sekolah besok ya Sup!” kataku sambil beranjak pergi.
Si Supri adalah teman mainku yang paling akrab, baik di sekolah maupun di rumah. Jarak rumah kami sekitar 300 meter. Rumah kami dihalangi oleh pekarangan yang ditanami ketela pohon. Si Supri sering menungguku saat pergi ke sekolah. Sekolah kami berjarak kurang lebih 1 km. Lumayan jauh untuk anak SD kelas 2 seperti kami saat itu. Apalagi kami selalu berjalan kaki. Kadang aku digendong oleh kakakku kalau sudah kecapean. Kakakku bernama Muslini yang saat itu ia sudah kelas 6.
Tinggal di daerah transimigrasi itu memang penuh kesan. Kesan yang paling mendalam bagiku adalah ketika ayah mengajak pergi ke pasar. Sementara pasarnya sangat jauh sekali. Aku dibonceng dengan sepeda dan duduk di antara sayur-mayur di belakang. Ayah terkadang turun saat jalan mulai menanjak. Semantara aku dibiarkan tetap di atas boncengan. Peluh ayah bercucuran bagai air hujan. Otot-otot tangannya terlihat mengencang saat mendorong sepeda.
Ketika sampai di jalan besar ternyata jalannya sedang diperbaiki. Saat itu jalan menuju ke Pasar Blog A Sebamban sedang diaspal. Tanahnya becek. Sehingga sepeda ayah tidak bisa berjalan saat dikayuh. Terpaksa ayah turun. Ban sepedanya ditelan lumpur 50 cm. Ayah terlihat cape mendorong sepedannya. Ingin rasanya aku segera turun untuk menolongnya. Tetapi ia malah melarang.
“Licin, nanti kamu terpeleset,” Katanya.
Sampai di pasar hari sudah sangat siang. Ayah menurunkanku, juga sayur-mayurnya. Beruntung masih banyak pembeli. Sehingga tidak terlalu lama ayah menjajakan dagangannya. Setelah habis terjual terlihat ayah menghitung hasilnya. Ayah tersenyum tipis. Aku ikut senang melihatnya. Lalu ayah mengajakku membeli makanan. Kami pun pulang dengan penuh kegembiraan. Meskipun jalannya masih becek namun ayah semakin bertenaga mengayuh sepedanya.
Post a Comment for "Cerita Bersambung | Bahtera di Laut Biru #1"
"Berkomentarlah dengan santun dan bermartabat."