Guru Udin
Sebuah cerpen : Abduh Sempana
Menunggu memanglah suatu hal yang sangat menyengsarakan. Menyengsarakan tatkala sesuatu yang ditunggu tak kunjung datang. Seperti pepatah Sasak yang mengatakan “Semakanta nunggu balang motong”, artinya ibarat menunggu belalang hangus. Bisa dibayangkan tatkala menunggu belalang yang sudah hangus di dalam bara api. Apa yang akan ditunggu selain hanya menghabiskan waktu berjam-berjam atau berhari-hari di depan bara api, sementara yang ditunggu-tunggu sudah lama jadi abu.
Begitulah ibarat orang yang menunggu. Tapi lain halnya tatkala yang menunggu adalah orang yang sangat sabar. Ia akan rela menunggu selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan sampai bertahun-tahun. Mengapa, ia mampu bersabar seperti itu? Sebab mungkin ia sudah tidak mengharapkan lagi apa yang ia tunggu melainkan mengalihkan pikirannya, atau mencari jalan lain untuk mengatasi kegagalannya, daripada harus memikirkan sesuatu yang ditunggu.
Seperti halnya yang dialami Guru Udin belakangan ini. Beliau adalah seorang abdi bangsa. Beliau menjadi guru swasta dengan tetek bengek kesabarannya. Ada kalanya ia harus menunggu berbulan-bulan dari honor yang cuma cukup beli sabun dan odol. Dan ada kalanya ia harus merelakan begitu saja bulir-bulir keringatnya mengalir, tanpa ada imbalan sepeserpun.
Guru Udin sudah mengabdi puluhan tahun lamanya di Madrasah. Dulu guru Udin pernah menerima honor cuma Rp500,00/bulan. Jika masanya pemutihan maka honor itu tidak didapatkannya. Maka hanya sabar yang bisa meredam kesulitan ekonomi keluarganya.
Tapi, guru Udin adalah seorang manusia biasa. Dia bukanlah rasul apalagi malaikat. Jadi terkadang rasa perih dan lirih menyelinap di dalam sum-sum tulangnya. Senyumnya yang mengembang di pagi hari saat mengajar terkadang hanya senyum kepasrahan.
Ketahuilah, sebetulnya Guru Udin tidak mau bergantung pada satu pekerjaan. Mengajar sambil usaha adalah cita-citanya. Sehingga pernah beberapa kali ia mencoba memulai usaha tapi selalu gagal. Ia bangkit lagi dan gagal lagi. Begitu selalu. Sehingga ia sudah tidak bisa memulainya lagi, sebab tidak punya cukup modal. Dan sampai kini Ia masih berusaha untuk memulai kembali usahanya yang jatuh bangun itu.
Suatu kali pernah lebih dari setengah tahun ajaran guru Udin tidak menerima honornya. Sementara kebutuhan rumah tangga tidak bisa ditunda-tunda. Lantas guru Udin mencari kerja serabutan di luar jam mengajar. Beruntung ia punya sisa waktu dua hari dalam satu minggu, yaitu Jumat dan Minggu. Dua hari itu dimanfaatkannya untuk bekerja jadi tukag ojek.
Kebetulan saat itu bulan puasa. Harga kebutuhan pokok meroket. Anak isteri di rumah mau belanja, tapi uang tidak ada. Hanya kata sabar yang bisa dititipkan kepada keluarganya.
“Mungkin kita sedang diuji Bu, sabarlah dulu, kalau sudah saatnya Honor pasti keluar, kita tunggu saja dalam beberapa waktu mendatang.” Ucap Guru Udin pas pada telinga kiri sang isteri. Kemudian satu bulan kemudian nada serupa diucapkan lagi di telinga bagian kanan. Dan itu berulang-ulang sampai tiga-empat bulan lamanya. Beruntunglah isterinya masih punya sisa kesabaran, sehingga Guru Udin tidak pernah mendapatkan kata-kata yang tidak pantas, apalagi sampai cek-cok gara-gara tidak ada beras. Guru Udin sangat beruntung mempunyai isteri yang sangat penyabar.
Beberapa waktu terakhir mereka memang sudah kehilangan selera makan karena tidak pernah makan bersama lauk, mereka cuma makan sayur hijau yang dikasi sama tetangga. Sehingga badan Guru Udin agak sedikit lemah, asupan vitamin dan protein sangat kurang. Maklum saja kalau daun-daun hijau melulu juga kadang bikin pengelihatan jadi linglung, bahkan bisa jadi mencret. Sebenarnya mereka mau ngutang daging. Namun setelah dihitung-hitung hutangnya di setiap warung sudah terlalu banyak, takutnya nanti tidak bisa terbayar dengan honor yang akan keluar, itu pun kalau keluar, maka terpaksa hanya daun-daunann yang masuk ke dalam usus-usus mereka. Minumnya juga cuma air sumur, tidak pernah mereka merasakan lezatnya orson ataukah sekadar teh gelas.
Pada hari itu isteri Guru Udin bingung sekali mau masak apa. Persediaan kebutuhan dapur sudah tidak ada sama sekali. Belum lagi tangisan anak-anak yang minta jajan. Lalu isteri Guru Udin mondar-mandir ke sana ke mari tak tentu arahnya. Mau ke warung tidak punya uang. Mau ngutang sudah malu karena utang di sana-sini sudah menumpuk. Lalu ia terlihat linlung. Sementara hari sudah semakin sore. Sang waktu tidak peduli sama sekali apakah ia sudah masak atau belum. Lalu tiba-tiba masuklah seorang tetangga ke halaman rumahnya.
“Bikin masakan apa Bu?” tanya tetangga itu.
“Oh, cuma bikin kolak Bu.” Jawab Isteri Guru Udin dengan nada yang lemah sekali.
Isteri Guru Udin tidak sadar apa yang diucapkannya sebab masih dalam keadaan bingung.
Karena tetangganya itu sudah biasa keluar masuk ke dapurnya. Tetangga itu pun segera mengintip isi dapur dan berusaha masuk. Isteri Guru Udin membiarkannya. Lalu tetangganya itu memeriksa panci-panci yang terlihat masih dalam keadaan bergantung.
“Mana kolaknya Bu, coba lihat.” Pinta tetangga itu.
Isteri Guru Udin pun sadar. Baru saja ia berbohong. Ia terkejut melihat Bu Uli tetangganya yang sedang berada di dalam dapur. Isteri Guru Udin tidak tau harus bilang apa. Malunya minta ampun, sebab keadaan di dalam dapur masih dingin. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Namun isteri Guru Udin berusaha tersenyum.
“Oh, ya sudah kumasukkan ke dalam semua. Sudah siap untuk disajikan.” Jawab isteri Guru Udin ringan saja.
Namun, entah mengapa Bu Uli masih saja penasaran dengan keadaan dapur yang sunyi senyap itu. Ia juga masih heran melihar panci-panci yang biasa digunakan isteri Guru Udin memasak masih dalam keadaan menggantung.
“Kalau Bu Uli bikin apa?” isteri Guru Udin balik nanya.
“Kalau aku sih, jarang-jarang bikin sendiri, selalu beli di toko. Ada kue-kue basah, kue kering. Kemudian banyak lagi macamnya. Maklum suamiku sangat pilih-pilih kalau soal berbuka puasa. Maunya yang enak-enak. Makanya setiap hari kami ke toko untuk berbelanja.
Isteri Guru Udin menelan ludahnya. Antara rasa iri atau entah rasa apa yang tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya. Lalu ia seperti memalingkan wajahnya. Seolah-oleh ia merasa malu dengan keadaannya yang skarang ini.
Waktu sudah hampir magrib. Orang itu masih juga belum mau pulang. Hingga akhirnya pembacaan tarhim pun tiba, baru ia mau pulang.
Cepat-cepat isteri Guru Udin masuk ke dapur. Dia langsung masak air. Diputarnya sebuah tombol untuk menyalakan kompor gas. Beberapa kali suara pletak-peletuk namun belum juga mengeluarkan api. Dicobanya satu kali lagi tapi tidak bisa sama sekali. lalu isteri Guru Udin melihat ke bagian kepala elpiji 3 kg bantuan pemerintah itu, dan ternyata sudah habis gasnya. Isteri Guru Udin sangat cemas. Sedangkan azan sudah terdengar berkumandang.
Lalu tiba-tiba Guru Udin masuk ke dapur, dipegannya pundak istrinya yang masih memutar-mutar kepala elpiji itu.
“Sudahlah Bu, ambilkan air putih aja.” Pinta Guru Udin.
Lalu isteri Guru Udin bangkit mengambil teko yang berisi air putih dan menuangkannya ke dalam gelas.
“Allahummala kasumtu wabikaamantu, waalarizki kaaftartu, birahmatikayaa arhamarrahimin....”
“Kita salat dulu?.”
Mereka kemudian salat magrib berjamaah di rumah. Anak-anak pun sudah menunggu untuk ikut salat berjamaah. Karena sudah biasa, itu yang dilakukan oleh keluarga Guru Udin setiap hari.
Begitu selesai salat baru kemudian mereka menikmati hidangan yang adanya cuma nasi putih dan sambal mentah. Mereka makan sangat lahap. Perut mereka pun terasa kenyang. Lalu dari bibir mereka terdengar ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, syukur karena masih diberikan kesehatan dan keafiatan. Syukur masih bisa menjalankan ibadah puasa pada hari itu, serta syukur masih diberi kekuatan untuk bisa melaksanakan salat, dan ibadah-ibadah lainnya. Hal yang demikian itu adalah suatu kenikmatan yang tidak akan pernah bisa dibeli dengan apa pun. Sekali lagi, mereka sangat beryukur atas segala karunia Allah terhadap keluarga kecilnya.
-----------------------------------------------
Sumber: Buku kumpulan cerpen "Lelaki di Ujung Sunyi"
Guru Udin sebuah cerpen juara 1 pada lomba cerpen tingkat Nasional
Membaca cerita pendek ini membuat aku memahami ternyata perjuangan seorang guru sangat berat. Dan khususnya guru honorer nasipnya sangat memperihatinkan. Semoga saja guru-guru di tanah air betul-betul diperhatikan oleh pemerintah kedepannya, agar kualitas pendidikan kita semakin baik. Karena bagaimana pun guru adalah garda terdepan dalam mencerdaskan anak bangsa.
ReplyDelete