Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Aku, Buku, dan Rindu (Cerita Perjalanan Beradaptasiku dengan Buku)

Saat masih kecil aku sering diejek oleh teman-temanku. Dikatakannya aku kampungan, kuper, pendek, dan lain-lain. Hingga terkadang kupingku memerah mendengar kata-kata itu. Kadang sesekali aku berkelahi untuk membela diri. Tetapi tetap saja aku yang kalah. Dan aku pun menangis. Di saat aku menangis mereka pun kembali mengejek aku dengan mengatakan teloq odaq (bahasa Lombok) yang berarti telur muda. Maksudnya aku adalah anak yang cepat menangis.

Dalam kondisi seperti itu aku merenung. Apa sebetulnya yang terjadi pada diriku. Seperti apa diriku sebenarnya. Apakah aku ini menjijikkan bagi mereka? Apakah karena ayahku sudah tiada? Ketika itu air mataku mulai mengalir deras. Aku pun mulai merindukan sosok ayah.


Sejak kecil aku memang sudah ditinggal pergi oleh ayah. Yakni semenjak kelas 3 SD. Sementara bagiku ayah adalah orang yang tidak pernah marah. Kuingat dia begitu kekar, sabar, dan penuh perhatian. Berbeda dengan teman-temanku yang nakal dan usil itu. Aku mulai membanding-bandingkan dengan pikiran kekanak-kanakanku.

Karena tidak tahan dengan perlakukan anak-anak itu aku pun mulai mencari pengganti ayah. Aku mulai suka dengan orang-orang tua. Setiap melihat orang tua aku selalu mengingat ayah. Bahkan ada orang tua di kampungku yang kukira ayahku, karena kemiripan postur tubuhnya. Tetapi aku tidak pernah menegurnya karena aku sadar ayahku memang sudah tiada.

Saat Buku Sebagai Pengganti Sosok Ayah

Hari-hari kulalui penuh kemurungan. Orang-orang pun memvonisku sebagai sosok pendiam. Karena aku mulai jarang bergaul sama teman-teman. Jika musim permainan seperti layang-layang, gasing, gobak sodor, dan lain-lain, aku tidak mau ikut main sama teman-teman. Aku selalu memilih menjadi penonton. 

Hingga suatu hari di sekolah. Bu guru menyuruh kami pergi ke perpustakaan. Kami pun berebut memlih buku yang akan kami baca. Aku pun memilih salah satu buku novel anak. Kami membaca di dalam kelas bersama-sama.

Entah mengapa saat membaca buku yang aku pilih itu aku mulai merasa seperti punya teman baru. Buku itu membuatku menjelajahi tempat bermain yang mengasyikkan. Yakni suatu tempat yang tidak pernah aku temukan. Hingga huruf demi huruf aku lewati. Bab demi bab aku habisi. Pada akhirnya jam pelajaran pun usai. Namun aku belum selesai membaca buku itu. Aku memberanikan diri untuk meminjamnya. Dan ibu guru mengizinkan aku membawanya pulang.

Cerita yang ditulis oleh pengarang dalam buku itu membuat aku mengenal sosok anak yang kuat dan tabah dalam menjalani kehidupan. Kebetulan tokoh anak dalam buku itu adalah seorang yatim piatu. Hidupnya menderita dan jauh lebih menderita dari apa yang aku rasakan. Maka sejak membaca buku itu, aku menjadi sadar bahwa ada orang yang jauh lebih menderita dari hidupku, namun ia lebih kuat menjalani hidupnya. Bahkan ketika sudah besar ia menjadi anak yang sukses. 

Buku itu benar-benar mengubah jalan pikiran dan prilaku hidupku. Dan aku mulai memburu buku-buku serupa. Aku semakin mencintai buku-buku. Dan aku mulai menganggap buku sebagai sosok ayah yang tabah, penyayang, dan sabar menemaniku. Dengan buku-buku pula aku mulai tidak terlalu bergantung pada pergaulan dengan terman sebaya.

Setelah membaca beberapa buku aku mulai sedikit tegar. Meskipun beberapa teman masih suka membuliku, tetapi aku selalu ingat pada tokoh dalam buku yang aku baca. Sehingga aku tidak menghiraukan bulian teman-teman. Namun dalam hati kecilku mengatakan bahwa suatu saat nanti aku pasti bisa menjadi orang yang sukses. Dan orang-orang yang suka membuliku akan sadar sendiri. Apalagi jika posisiku suatu saat bisa lebih tinggi dari mereka.

Namun karena aku terlahir dari keluarga yang kurang beruntung dari segi ekonomi sehingga membuat aku tidak bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Aku hanya bisa menyelesaikan sampai SLTA saat itu. Tetapi aku tidak menyesali hidupku. Karena apa pun yang terjadi dalam hidupku adalah  pemberian Tuhan. Aku tetap berusaha bersyukur.

Dan Tuhan berkata lain. Ternyata selalu ada jalan keberuntungan. Saat itu kakakku pulang dari Kalimantan Timur. Maksud kepulangannya adalah  mengajakku pergi merantau di Kalimantan. Di sana kami bekerja di tengah hutan untuk mencari gubal gaharu. Meski di tengah belantara, aku selalu berusaha menyelipkan satu atau dua buah buku di dalam tas ranselku. 

Alhamdulillah sepulang dari kalimantan aku sudah bisa melanjutkan pendidikan. Saat itu aku belum percaya kalau aku bisa masuk di perguruan tinggi. Dan dengan ucapan Bismillahirrahmanirrahim, aku pun memilih jurusan yang aku pilih. Hingga 4 tahun kemudian aku pun meraih gelar sarjana. 

Berburu Buku di Gramedia

Setelah mendapat gelar sarjana, aku mulai memasuki dunia kerja. Aku diterima menjadi seorang guru di salah satu madrasah swasta di kampungku. Dengan begitu aku bisa menikmati gaji yang walaupun sedikit, tapi cukup untuk makan dan menambah koleksi perpustakaan pribadiku. 

Sebagai seorang guru aku membutuhkan banyak bacaan untuk mendukung profesionalisme.  Buku-buku pelajaran saja tentu tidak cukup. Lebih-lebih mengajar bahasa Indonesia sangat membutuhkan buku-buku penunjang seperti novel, buku cerpen, kumpulan puisi, dan lain-lain.

Aku pun mulai memburu buku di toko-toko. Tetapi kadang toko buku di kota kabupaten tidak selalu menyediakan koleksi yang lengkap. Sehingga untuk mendapatkan buku yang aku cari, biasanya harus pergi ke toko buku di kota provinsi. Di sana biasanya lebih lengkap. Tetapi lumyan jauh dan harus punya cukup waktu luang untuk bisa berkunjung ke sana.

Ketika aku mulai gelisah dengan kelangkaan buku di daerahku, aku mulai berselancar di dunia maya untuk mencari bahan bacaan. Dan kebetulan pas sedang di media sosial aku menemukan sebuah banner yang menginformasikan ada bazar buku di kota kabupaten tempatku tinggal. Dan aku tertarik untuk pergi ke sana.

Esok harinya aku berkunjung ke bazar buku itu. Dan ternyata acara tahunan yang diselenggarakan oleh Bupati yaitu dinamakan Lombok Timur Book Fair. Acara tersebut terselenggara atas kerja sama pemerintah daerah, perpustakaan daerah, dan Gramedia. Biasanya acara digelar pada bulan Oktober dan berlansung selama satu Minggu. Pada acara itulah aku melihat banyak buku-buku terutama terbitan Gramdia Pustaka Utama (GPU) dan penerbit-penerbit cabangnya.

Aku mulai membongkar tumpukan buku-buku yang tersedia di bazar itu. Akhirnya tatapanku tertuju pada sebuah buku yang bersampul merah. Gola Gong. Waw. Aku langsung tersentak. Ternyata Gola Gong ada di sini. Aku memang pengagum pengarang ini. Dan ternyata judul bukunya “Balada Si Roy”. Wah, bacaan remaja memang. Tapi karena suka sama penulisnya aku ambil juga buku itu. Dan kutau Balada Si Boy merupakan salah satu bukunya yang pernah terjual hingga 100.000 eksemplar pada zamannya. Buku yang muncul pertama kali tahun 1989 ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama (GPU)

Sesampainya di rumah aku pun tak sabar ingin membaca buku tersebut. Setelah membaca bagian awal saja aku langsung kepincut dan tak ingin berhenti membacanya. Aku mulai menghabiskan membaca buku yang tebalnya 366 halaman itu dan selesai dalam rentang waktu 2 x 24 jam. Tapi aku belum merasa puas membacanya karena berbentuk serial. Akhirnya aku pun memutuskan untuk mencari seri yang lain.

Sejak membaca buku Balada Si Roy, aku rutin mencari buku-buku terbiatan GPU. Tapi sayang di daerahku toko Gramedia hanya ada di kota provinsi yaitu di Mataram. Sementara aku tinggal di pelosok di Kabupaten Lombok Timur. 

Berapa waktu kemudian berdirilah toko buku Gramedia Exibition di Lombok Timur yaitu di Kota Pancor. Akhirnya aku bisa mencari buku-buku terbitan Gramedia di sana. 

Membuat Komunitas Literasi

Di tengah asyik mansyuknya dengan tumpukan buku-buku, entah mengapa aku merasa berjalan sendiri. Aku merasa sebagai orang yang egois. Karena saat aku mulai merasa tercerahkan oleh bacaan-bacaan yang aku lahap selama ini , pada sisi lain orang-orang di sekelilingku terlihat masih seperti kegelapan. Kukatakan gelap karena pola pikir mereka yang terlihat cenderung tertutup. 

Dengan berpikir begitu bukan berarti aku merasa lebih pintar dari mereka, bukan pula lebih alim atau lebih tinggi derajat sosialnya. Akan tetapi aku melihatnya dari sisi bagaimana mereka memperlakukan buku. Baik itu di lingkungan pemuda, lingkungan orang tua, lingkungan anak-anak, bahkan di lingkungan sekolah sekalipun belum ada yang kulihat memperlakukan lebih terhadap buku. Kesimpulannya, masyarakat di sekitarku masih banyak yang kurang membaca buku. 

Lalu aku mulai merenungi sebuah hadis Rasulullah SAW, "Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain”. Dalam posisi ini, aku masih belum banyak memberikan manfaat kepada yang lain.

Dari situlah aku mulai berencana untuk membuat sebuah perkumpulan. Yang nantinya dalam perkumpulan itu orang-orang khususnya di kampungku  bisa membaca buku, berdiskuisi tentang buku, bahkan menulis buku. Atau setidaknya dengan adanya perkumpulan itu orang-orang mulai tertarik untuk membaca buku.

Akhirnya aku pun membuat perkumpulan atau komunitas literasi bersama teman-teman. Komunitas itu kami beri nama Ka-Lam (Komunitas Literasi Madrasah). Aku memilih nama itu karena kebetulan aku lahir dari perut madrasah. Sekolah di madrasah hingga bekerja di madrasah.

Demikianlah perjalanan hidupku dengan buku. Buku yang telah mengubah hidupku. Buku pula yang menjawab kerinduanku. Yakni rinduku pada sang ayah. Sehingga aku menemukan ayah dalam buku-buku.

------------------------------------------------

Penulis: Abduh Sempana, seorang pendidik, pegiat literasi (Ka-Lam), penulis antologi cerpen Lelaki di Ujung Sunyi, kumpulan puisi Jejak Tersapu Ombak, dan beberapa buku bersama penulis lain.

BASINDON
BASINDON Blog pelajaran bahasa Indonesia SMP/MTs (materi, soal, dan perangkat pembelajaran), serta Pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia (umum)

Post a Comment for "Aku, Buku, dan Rindu (Cerita Perjalanan Beradaptasiku dengan Buku)"