Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mertua Palsu

Sebuah cerpen: Abduh Sempana

Aku hanya ingin ia mengerti perasaanku. Tak lebih dari itu. Setelah sekian lama berusaha meyakinkan  dirinya akan cintaku, namun ia tak pernah menoleh sedikit pun terhadapku. Apa sebenarnya yang membuatnya begitu?

Selama ini aku telah berusaha mendekatinya kembali. Aku ingin keluargaku utuh seperti dahulu. Meki pun aku selalu dibayang-bayangi peristiwa masa lalu dikala orangtuanya berusaha keras menolak kehadiranku sebagai menantu. Dan sekarang ini terbukti kami telah berpisah. Ayah dan ibunya tentu saja merasa menang, sebab perkataan mereka yang dahulu itu benar terjadi. Aku masih ingat jelas apa yang dikatakannya pada waktu itu.

“Pokoknya kamu jangan mau menikah dengan bajingan tengik itu. Aku tidak sudi melihat batang hidungnya. Lebih-lebih ia akan menjadi darah daging cucuku. Jika kamu nekat bersuami dengannya. Lebih baik kamu pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali lagi. Perlu kamu ketahui bahwa rumah tanggamu tidak akan pernah bahagia selamanya jika kawin dengannya. camkan kata-kataku ini, Santi.”

Entahlah, dari mana ia bisa tau semua tentang perjalanan hidup keluargaku. Ahli nujum mana yang disewanya untuk mengetahui masa depanku. Walau sebenarnya sampai saat ini aku tak pernah percaya dengan hal-hal konyol seperti itu. Mungkin itu hanya kebetulan saja.

Selanjutnya ia mengatakan begini kepada Santi.

“Carilah laki-laki lain. Masih banyak kok laki-laki yang mencintai kamu. Andre anak pak lurah, dan juga pacar lama kamu Sopian yang pasti masih mau menerimamu. Kamunya aja yang keterlaluan. Mungkin kamu diguna-digunain oleh laki-laki tengik itu.”

Lalu suatu hari aku pun membujuk Santi.

 “Santi. Kembalilah kepadaku. Jangan kau hiraukan perkataan orangtuamu itu. Berikan aku kesempatan satu kali lagi untuk hidup bersamamu. Mari kita bangun kembali rumah tangga kita yang sempat porak poranda oleh angin puting beliung yang tidak jelas asalnya itu.”

“Sudahlah Mas, cari saja wanita lain. Aku terlanjur malu kepada orangtuaku. Apa kata mereka jika aku kembali lagi kepadamu.”

“Ingat anak-anak kita Santi. Jangan ingat yang lain. Bagaimana jadinya anak kita nanti. Mereka masih butuh kasih sayang kedua orangtuanya.”

“Coba dari dulu kamu berfikir begitu Mas, pasti tidak akan seperti ini. semuanya sudah terlambat.”

“Tidak ada kata terlambat Santi. Selagi kita masih ingin mengubah diri untuk lebih positif, tentu saja ada jalan yang lebih baik bagi kita.”

“Cukup Mas, cukup. Tidak usah ceramahi aku. Sekarang lebih baik Mas pulang saja. nanti Mas ketahuan oleh ibu karena telah masuk ke kamarku.”

“Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi besok aku akan datang ke sini lagi untuk menerima jawaban darimu. Selamat malam.” 

Aku segera melompat keluar dari jendela. Beruntung tidak ada yang melihatku. Andi sahabatku ternyata masih menanti di luar pagar. Kemudian kami langsung pulang untuk menemui Reza anakku yang kutinggalkan sebentar saat ia terlelap. Kasihan sekali dia. Masih kecil sudah terpisah dari ibunya. 

Aku masih belum habis pikir mengapa mantan mertuaku itu tidak mau menerima cucunya. Setahuku cucu dari anak perempuan itu lebih disayangi ketimbang cucu dari anak laki-laki. Bukankah itu kebanyakan terjadi. Pasti ada yang tidak beres dengan semua ini, Pikirku.

Sebagaimana janjiku, aku akan pergi lagi ke rumah Santi. Aku tidak sabar menerima jawaban darinya. Aku tak perlu menelponnya terlebih dahulu agar tidak menerima alasan yang macam-macam darinya sehigga membatalkan kepergianku. 

Seperti biasa aku melompat di pagar belakang rumah. Kemudian masuk melalui jendela. kebetulan sekali terlihat sepi. Mobil juga tidak ada yang parkir di depan. Setelah berhasil menyusup ke dalam kamar Santi, ternyata Santinya juga malah tidak ada. Brengsek. Aku berusaha menghubunginya tetapi telefonnya tidak aktif.

Dari pada datang sia-sia kesempatan itu kugunakan untuk penyelidikan. Tanpa berpikir lama segera kugeledah loker lemari dan meja. di bawah kasur dan bantal pun tidak luput dari pencarianku. Kemudian terakhir tatapanku tepat mengarah pada laci meja berukuran kecil tempat bedak gincu. Rupanya terdapat dokumen-dukumen juga di situ. Kucoba memeriksanya dan ternyata ada map yang berisi ijazah. Map plastik itu sudah sering terlihat ketika Santi masih bersamaku dulu namun belum pernah melihat isinya secara lengkap. Kucaba membolak balik kertas yang sebagian sudah dilaminating itu. kemudian kutemukan sebuah kertas yang berwarna kuning yang bagian bawahnya dibubuhi tanda tangan dan stempel Dukcapil. Kertas itu memang tidak pernah ada sebelumnya. Kemudian aku pun terkejut setelah membaca isinya.

Semenjak aku melihat keterangan pada kertas itu aku baru sadar jika selama ini aku memang dibohongi. Ternyata Santi bukanlah anaknya Bu Raudah, mertua palsuku itu. Pantas saja ia tidak mau mengakui cucunya dari Santi. Karena tidak ada ikatan batinnya. Bodoh sekali, mengapa ia tidak pura-pura menyayangi Reza supaya aku tidak curiga.

Bu Raudah adalah istri barunya Pak Joko yang juga mantan mertua palsuku itu. kini kusebut ia mertua palsu juga karena Santi bukanlah anaknya melainkan hanyalah kemenakannya. Pak Joko tidak memiliki anak. Santi adalah anak saudara tirinya yang diasuh sejak kecil. Jadi sekarang aku tidak tahu  siapa sebenarnya orangtua asli Si Santi. Mungkin mereka sudah meninggal atau pergi entah ke mana. Yah, aku juga sudah tidak peduli dengan semua itu. Tetapi hubunganku dengan Santi yang dulu itu statusnya bagaimana? Belum sempat bertanya ke ahli fiqih.

Bu Raudah dan Santi hanya bermaksud menelan hartanya Pak Joko. Satu persatu sertifikat hak milik Pak Joko ada di tangan mereka. Semua itu aku lihat ketika menggeledah kamar Santi bila hari. Termasuk beberapa setifikat tanah ada di sana. Ada juga yang terlihat sudah dialih namakan. Huh, lebay. Kayak cerita di sinetron aja. 

Yang menjadi beban pikiranku sekarang adalah nasip anakku. dia tidak tahu siapa kakek neneknya yang asli. 

“Santi, Santi. Ternyata kamu mapia kelas kadal. Mengapa nggak jadi buaya sekalian. Kamu tak punya rasa kemanusiaan. Anakmu sendiri kamu tinggalkan dan malah memilih mencari harta kekayaan dengan mengeruk harta milik orang. Sekarang aku tidak jadi membujuk kamu untuk kembali kepadaku. Biarkan saja anakku bersamaku hingga ia tumbuh dewasa. Kalau ada jodoh lagi lebih baik aku kawin dengan wanita yang lain saja.”

Dua bulan kemudian aku pun menemukan wanita yang kumaksudkan itu. Sarah. Ya, Sarah. Dia telah menjadi surga bagiku. Kami bertiga  hidup aman dan tenteram. Dia memang belum punya anak tetapi jiwa keibuannya sudah begitu  matang. Kulihat ia sangat bahagia dengan anakku. 

Namun sekali waktu pikiranku melayang tak jelas. Entahlah, aku pun terkadang tidak mengerti dengan pikiran sendiri. Aku begitu hanyut dalam labirin sunyi. Persis seperti saat aku masih dikuasai oleh pil ektasi dan sabu-sabu sepuluh tahun lalu.

Dan yang kusesali, ternyata setelah besar anakku mencari induk semangnya yang asli. Ketika sudah punya sayap yang kokoh, ia terbang bebas ke mana pun ia mau pergi. Sementara itu Sarah mulai mencuri pandang dengan mantan suaminya yang dulu. Sering kali kupergoki ia sedang berbicara berduaan di belakang rumah. Entah apa yang dibicarakannya.

----------------------------------------

Sumber: Buku kumpulan cerpen "Lelaki di Ujung Sunyi", ilustrasi: canva

BASINDON
BASINDON Blog pelajaran bahasa Indonesia SMP/MTs (materi, soal, dan perangkat pembelajaran), serta Pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia (umum)

Post a Comment for " Mertua Palsu"