Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Orang-Orang Minta Puisi

Sebuah cerpen: Abduh Sempana

Pemuda itu, Sandi namanya. Orangnya ramah. Bahasanya pun santun, terutama kepada saya. Ehm...Namun dari sisi lain ia juga terkenal nakal. Pergaulannya anak-anak perempatan. Dan konon ia suka mabuk-mabukan.

Pernah suatu kali ia tergeletak di jalanan. Saat itu menjelang Isya’. Orang-orang berkerumun melihatnya. Tubuhnya besimbah darah. Ternyata ia baru saja jatuh dari sepeda motor. Seorang pemuda lainnya terlihat pula meringkuk di sampingnya. Pemuda yang satu itu adalah teman boncengannya. Lalu keduanya dilarikan ke puskesmas terdekat.

“Akhhh...Semprul. Mulutnya bau amat.” Kata Rido yang sedang menyangga tubuhnya di atas mobil.

“Kenapa?” Tanya yang lain.

“Dia mabuk.

“Pantesan aja. Rupanya ia sedang oleng saat menabrak pohon nangka di pinggir jalan itu.”

Mobil pun terus melaju dengan kencang. Hingga tiba di rumah sakit kedua tubuh pemuda itu digotong ke UGD. Kedunya lagi-lagi mengeluarkan muntah dari mulutnya. Lantai rumah sakit pun menjadi becek dan mengeluarkan bau menyengat.

Hampir satu bulan di rumah sakit, Sandi tidak juga sembuh. Konon ia mengalami gangguan di kepala bagian  belakang. Sementara temannya yang satu sudah lama sehat. Melihat keadaan itu, orang-orang mulai berpikiran yang nggak-nggak. Jangan-jangan Si Sandi jadi gila.

Sampai dua bulan kemudian Sandi baru bisa sembuh. Meskipun nada bicaranya agak sulit dipahami. Jalan pikirannya absurd. Lambat laun keadaan itu pun berubah menjadi normal.

Kemudian di suatu malam suara pintu diketuk dari luar. Ketukan itu diiringi pula dengan ucapan salam. Istri saya mencoba mengintip dari balik tirai jendela. “Ada seorang pemuda yang datang, ” katanya kepada saya yang sedang asyik menonton acara di salah satu channel televisi swasta. Saya pun buru-buru bangkit dan membukakan pintu. Kemudian kami duduk di teras luar.

“Ada apa malam-malam begini, tumben.” Sapa saya kepada pemuda itu yang ternyata adalah Sandi.

“Maaf paman kalau saja saya mengganggu.”

“Nggak apa-apa,”

Anak itu memperbaiki duduknya. Saya pun mengangkat pantat untuk merapikan tikar yang kusut.

“Bagini Paman, saya sangat butuh bantuan Paman.”

“Bantuan apa?”

“Malam ini saya butuh puisi Paman. Saya butuh kata-kata yang indah untuk mengatasi masalah saya.”

Saya hampir tertawa terbahak-bahak mendengar kata-katanya. Lugu sekali. Seperti anak yang merengek minta uang jajan. Saya kira ada keperluan lain. Tapi saya berusaha menanggapinya. Namun kembali ia lebih dulu melanjutkan kata-katanya.

“Bagaimana Paman, bersediakah Paman membantu saya?”

“Saya sudah lama tidak berkecimpung dengan puisi. Saya hanya sibuk mengajar. Mungkin saya sudah lupa bagaimana mengeluarkan kata-kata yang berbentuk puisi itu.”

“Ah, Paman. Paman pandai melakukannya. Dulu kan Paman selalu membuat kata-kata yang indah itu.”

“Itu kan ketika saya masih bujangan. Saya bisa menulis puisi karena memang saya sedang jatuh cinta.”

 “Paman pasti masih ingat bagaimana menulisnya kembali. Tolonglah Paman. Saya mohon!”

Saya perhatikan anak itu begitu serius. Apa sebenarnya yang terjadi padanya?

“Sebenanya apa yang terjadi, San, hingga mau dibuatkan puisi segala.”

Ia pun meceritakan kejadian yang sebenarnya. Biasa, kisah remaja yang sedang jatuh cinta, dan apalagi kalau bukan perselingkuhan.  Katanya sih akhir-akhir ini pacanya jarang nelpon dan tidak mau angkat telepon. Entah karena sibuk atau apa, yang jelas sikapnya itu berbeda dari yang biasa. Usut punya usut, akhirnya masalahnya pun ketemu juga. Ternyata pacarnyai itu selingkuh. Ah, kisah yang basi. Setiap hari itu-itu saja yang saya saksikan dan dengar di TV maupun di kaset nyanyian. Dari lagu daerah sampai lagu internasional sebagian besar bertema selingkuh. Ho, walah, selingkuh. Giliran saya diceritakan panjang lebar soal selingkuh itu. Saya pun menguap. Mulutnya tidak mau berhenti mengeluarkan kata-kata pedih. Perihnya bagai tersayat sembilu. Bikin teringat lagu negeri Jiran. Sementara kaki ini dikerubungi nyamuk. 

“Ceritanya sedih juga ya,” Saya mencoba memutus pembicaraan. Ia pun menarik nafas panjang-panjang kemudian kembali melanjutkan ceritanya yang tinggal beberapa episode. Sementara saya sudah menyimpulkan terlebih dahulu. Temanya sudah pasti sama dengan lagunya Charly ST 12.

Konon cintanya itu sudah sejak lama. Saat SMP dulu ia sudah pacaran dengan pacarnya yang selingkuh itu. Sehingga menurutnya sayang untuk ditinggalkan begitu saja. Sebab katanya sudah cukup banyak asam garam yang mereka rasakan bersama. Ho, walah. Kayak kekek-nenek aja.

Saya pun mencoba mencarikan jalan keluar. Saya suruh dia untuk tidak menghubungi kekasihnya itu untuk satu atau dua minggu ke depan. Pasti suatu saat nanti kekasihnya itu akan kangen. Kangen karena tidak pernah ditelepon. Namun katanya ia sudah melakukan hal itu. Ia tak mampu melakukannya. 

Ho, walah. Kasian juga itu anak. Lama-lama saya dibuatnya larut juga dalam kisah percintaannya. Sampai-sampai ia menitikkan air mata. Suaranya menjadi serak-serak. Hinggas saya jadi bingung dibuatnya.

“Pokoknya Paman harus membuatkan saya puisi. Saya tunggu sampai dua hari ke depan. Saya ingin sekali membuatnya luruh dengan kata-kata indah. Seperti dulu saat saya runtuhkan dia dengan puisinya Paman.”

“Waduh, rupanya anak itu pernah pula meminta puisi dari saya. Baru ingat. Pantesan ia kemari lagi.” Aku membatin.

“Oh, perempuan yang dulu itu?” Kata saya seolah kenal dengan kekasihnya itu. Padahal saya belum pernah melihat batang hidungnya.

“Betul paman. Saat saya masih SMP dulu,”

“Rupanya kau setia juga,”

Beberapa hari kemudian ia kembali datang. Ia menagih puisi itu. Tetapi saat itu saya masih benar-benar belum bisa menulis puisi. Saya katakan padanya beberapa hari lagi saya akan berikan ia puisi itu.

Esok harinya, seorang mengetuk pintu lagi. Saya keluar. Saya lihat anak berseragam sekolah. Ia murid saya saat ia masih MTs. Kini ia terlihat mengenakan seragam putih abu-abu. Dengan wajah agak malu-malu ia mengungkapkan maksud kedatangannya. Katanya ia mau ikut lomba membaca puisi di sebuah acara perkemahan. Ia minta saya untuk membuatkannya puisi. Saya janji ia besok pagi. Kemudian siswa itu beringsut pergi setelah mencium pungguh tangan saya.

Saya  masuk ke dalam kamar. Saya lihat hape bergetar sambil mengeluarkan bunyi tit, tit, tit. Itu adalah nada pesan singkat. Saya pun membuka pesan singkat itu.

“Pak Guru, mau kah Bapak buatkan saya pusi? Saya lagi butuh kata-kata indahnya Pak Guru.”

Sebenarnya saya mau membalas SMS itu namun saya tidak memiki pulsa. Tak lama kemudian orang yang mengirim pesan itu malah menelpon.

“Kalau bisa nanti malam SMS saja saya puisinya, Pak..... . Suara itu pun terputus. Rupanya pulsanya sekarat juga.

Saya pun merebahkan tubuh di atas kasur. Saya lihat istri saya terlelap. Anak saya juga sedang terpejam di sampingnya. Wajahnya tiba-tiba seperti sebaris puisi yang indah.  Wajahnya yang bersemu merah. Indah sekali. Akhirnya saya ingin membuat puisi saat itu juga. Saya rasa diri ini sedang dihinggapi oleh inspirasi. Saya pun mencoba mengambil buku dan pena. Baru saja mulai menulis satu kata. Pintu pun diketuk oleh seseorang. Saya segera menuju daun pintu dan mebukanya.

“Bagaimana Paman, apakah sudah jadi puisi itu?”

“Ini saya sedang menulisnya.”

Setelah itu kata-kata indah tadi malah hilang. Saya hanya bisa memandangi kertas putih dengan tatapan kosong. Inspirasi yang tadinya datang sudah kembali lagi ke peraduannya. 

----------------------------------------

Sumber: Buku kumpulan cerpen "Lelaki di Ujung Sunyi", ilustrasi: canva

BASINDON
BASINDON Blog pelajaran bahasa Indonesia SMP/MTs (materi, soal, dan perangkat pembelajaran), serta Pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia (umum)

Post a Comment for "Orang-Orang Minta Puisi"