Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Membaca Cerpen "Kucing Mati di Bawah Pohon Kamboja"

Ketika menulis artikel ini saya lupa nama pengarangnya siapa. Hehe... Tapi baiklah dari pada tulisan saya tidak berjalan lebih baik saya lanjut saja menulisnya. Karena kelamaan memikirkan nama pengarangnya, kan jadi malah lupa isi atau materinya. Toh juga nama pengarangnya bisa ditulis belakangan, atau sambilan jalan siapa tahu di tengah perjalanan menulis nama pengarangnya tiba-tiba muncul. Tu kan, benar kan. Sekarang saya baru ingat. Nama pengarangnya adalah Yanusa Nugroho. Hadewwh, pak Nugroho. Ke mana aja sih. Hehe...

Nah, sekarang kita bisa mulai menceritakan kembali cerpen yang terbit pada tanggal 09 Oktober 2022 tersebut. Koran tempatnya terbit adalah Kompas. Tetapi saya tidak membacanya di koran melainkan lewat situs ruangsastra.com, yang merupakan situs khusus menerbitkan cerpen sastra koran-koran besar Indonesia. Sebut saja seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Post, Republika, dan lain-lain.

Pada cerpennya kali ini Pak Yanusa memceritakan sebuah kejadian yang boleh dibilang aneh, juga bisa dikatakan hal-hal kecil yang kadang luput dari perhatikan kita. Awal mula ceritanya menggambarkan sebuah peristiwa alam yang mana terjadi hujan es yang cukup besar-besar. Besar-besar maksudnya di sini ukuran materi es yang jatuh cukup besar. Mulai dari sebesar kerikil sampai sebesar telur. Di saat itu anak anak bersorak-sorai melihat kejadian yang tidak pernah terjadi. Lalu ada anak yang ingin sekali bermain hujan tetapi dimarahi oleh ayahnya. Setelah hujan mereda tiba tiba angin kencang datang. Menerbangkan atap-atap rumah warga. Pepohonan juga tumbang. Bahkan ada juga pohon kelapa yang disambar petir sehingga menyerupai robot raksasa. Sementara pohon yang lain melintang di badan jalan. Suasana mencekam menghantui, langit gelap berhalilintar. Lalu ada seekor kucing yang tergeletak di bawah pohon kamboja. Seorang ayah dan anaknya melewati tempat tersebut. Sang anak berhenti dan melihat kucing yang mati tersebut. Masih ada darah segar mengalir di kepala kucing itu. Sang anak memberi tahu ayahnya. "Ayah...Si miyuss mati," katanya sambil menunjuk kucing itu. Sang ayah melihatnya sebentar lalu tidak hirau. Akan tetapi si anak diam di situ dan menarik tangan ayahnya yang mau pergi. Dengan ucapan yang sama si anak kembali mengatakannya pada sang ayah. "Ya, saya tau kucing mati," jawab sang ayah sambil menarik tangan si anak. Namun sang anak semakin ngotot untuk tetap berada di tempat itu. Berulang kali sang ayah mengajak si anak pulang tapi  tidak mau. Sampai sebuah mobil berhenti mengajak mereka naik, yang rupanya adalah tetangga mereka. Tetap si anak tidak mau beranjak dari situ. Mobil itu tidak juga berhenti mengikuti mereka. Lalu seorang ibu muda memanggil dari seberang jalan. Diajaknya mereka untuk berteduh karena hujan dan dingin. Mereka menolak. Akhirnya ibu muda itu datang karena penasaran apa yang terjadi. Dia membawa dua buah payung. Yang satu dipakainya dan satunya masih kuncup. Lalu dikasikannya payung yang masih kuncup kepada Si ayah dan si anak yang menggigil kedinginan sambil memandangi kucingnya. Lalu dikasi taunya apa yang terjadi. Karena iba melihat si anak yang begitu sayang kepada kucing yang mati itu, si ibu muda mengambilkannya kantung pelastik hitam. Lalu dengan terpaksa si ayah memasukkannya ke dalam kantung pelastik sesuai dengan permintaan si anak,

Lalu mobil yang dari tadi membuntuti mereka pergi karena si ayah dan si anak tidak jadi naik. Pemilik mobil senang karena tidak membuat mobilnya kotor.

Kemudian si ayah bertanya mau diapakan kuncing itu setelah dibawa pulang. Kata si anak mau dikubur. Si ayah menjelaskan kalau mereka tinggal di rumah susun, mereka tidak punya bidang tanah tempat mengubur kucing itu. Tetapi si anak ngotot harus tetap mengubur kucing itu.  Padahal kucing itu bukan kucingnya, melainkan kucing entah siapa yang punya, cuma kebetulan kucing itu sering main ke rumahnya, dan si anak selalu memberinya makan.

Lalu ketila tiba di pinggir kali dekat rumah mereka. Si ayah mengajak menguburnya di tempat itu. Dan untungnya si anak meng-iyakan. Akan tetapi si ayah bingung menggali tanah dengan apa. Tiba tiba si kecil merunduk dan menggali tanah dengan tangannya yang mungil. Si ayah terheran-heran. Dari mana firasat anaknya yang tiba-tiba mengambil tindakan seperti itu. Lalu si ayah membantunya. Tak lama kemudian dikuburlah kucing itu. Si kecil merasa lega. Lalu gerimis pun mereda. Menyisakan tanah basah, sepi, dan dingin. Esok harinya pohon kamboja tempat kucing itu tampak layu seperti mau mengering.

Demikian cerpen Yanusa Nugroho yang saya baca sekilas. Karena menbacanya di gadged jadi saya agak-agak lombat membacnya, shingga mungkin ada detil cerita yang hilang. Tapi inti ceritanya saya bisa tangkap seperti yang saya ceritakan ini.

Sebagai tanggapan bahwa cerpen ini mengajarkan kepada kita bahwa ternya seorang anak kecil jauh lebih peka perasaanya. Di mana dia juga bisa merasa empati terhadap lingkungannya, binatang-binatang di sekitarnya. Jadi sebagai orang dewasa kita perlu mengikuti tindakan si kecil. Karena mungkin kita orang dewasa sudah lupa dengan apa yang pernah dirasakan dulu saat kecil. Sebab, perasaan empati dan simpati semacam itu perlu ditumbuhlan kembali dalam diri orang dewasa.

Penulis: Abduh Sempana

BASINDON
BASINDON Blog pelajaran bahasa Indonesia SMP/MTs (materi, soal, dan perangkat pembelajaran), serta Pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia (umum)

Post a Comment for "Membaca Cerpen "Kucing Mati di Bawah Pohon Kamboja""