Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ketika Nilai Akademik Siswa Jelek, Apakah Kegagalan Guru Atau Kebodohan Siswa?

“Perlakukan seseorang sebagaimana adanya dirinya maka Anda menjadikannya lebih buruk. Perlakukan seseorang sesuai potensinya maka Anda menjadikannya lebih baik.

(Goethe)


Berbicara soal pendidkan memang tidak akan ada habis-habisnya. Begitu zaman berubah, begitu pula teknik, pendekatan dan teori dalam pendidika berubah. Hal tersebut sejalan dengan perkembangan sosiologis dan psikologis manusia itu sendiri. Anak-anak di zaman kemerdekaan akan berbeda dengan anak-anak pada masa Orde Baru dalam menyerap pelajaran. Begitu seterusnya.

Persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan memang cukup kompleks. Mulai dari persoalan sarana/prasana, guru/pendidik, kurikulum yang berlaku, hingga kepada persoalan obejek pendidikan itu sendiri yakni peserta didik.

Misalnya dalam persoalan guru atau pendidik, sering kita mendengar bahwa guru yang jebolan ilmu pendidikan tidak lebih baik cara mengajarnya ketimbang yang lulusan non-pendidikan. Dan sebaliknya, banyak guru-guru yang berpendidikan otodidak justeru memilki murid-murid yang berkualitas. Namun begitu bukan berarti meragukan kemampuan para guru yang jebolan ilmu pendidikan. Mungkin hanya kebetulan saja. Tapi tidaklah layak bila dikatakan guru yang memang background-nya pendidikan tidak bisa mendidik.

Menuurut saya secara pribadi, Ini bukanlah kesalahan gurunya, tapi salah menempatkan potensi. Karena banyak diantara kita yang mengejar kesempatan. Tidak peduli apakah kesempatan yang dikejar tersebut sesuai dengan potensi yang dimilki. Artinya banyak seorang guru yang sebenarnya memang tidak cocok menjadi guru. “Kalau sudah dijalani pasti akan bisa.” Asumsi semacam itu memang seperti mengakar.

Akibatnya, tidaklah mengherankan bila muncul generasi-genarasi plagiat, manusia-manusia peniru, mahluk-mahluk konsumtif. Mereka adalah tunas-tunas yang mati sebelum berkembang dan berbuah. Dan ternyata mereka adalah produk-produk guru yang hanya mengejar kesempatan tadi. Terjadi siklus yang buruk dalam sejarah pendidikan. Guru kencing berdiri murid balapan kencing, memang seperti semakin mewabah.

Problem kedua yang juga menjadi penghambat di dunia pendidikan yakni masih melekatnya kata-kata bodoh dan pintar untuk membandingkan seorang siswa. Dan ini saya pernah mendengar langsung dari seorang guru senior, kebetulan juga sudah pegawai negeri. Secara lantangnya ia mengatakan kepada seoarang siswa “Kamu itu anak bodoh, semua keturunanmu bodoh semua, apalagi kamu.” Gubrak!!! Miris saya mendengarnya.

Kemudian lagi saya pernah mendengar seorang guru kepada siswanya juga, katanya “Suaramu jelek, kamu nggak usah nyanyi lagi. Keturunanmu nggak ada yang bisa nyanyi.” Pantaskah seorang guru mengatakan seperti itu. Dan ini bukanlah isu tapi memang jelas ada di dunia pendidikan kita sekarang ini.

Kata-kata negatif seperti itulah yang sebenarnya merusak karakter siswa. Sesungguhnya setiap kata akan berdampak besar terhadap perkembangan siswa. Baik itu kata negatif maupun positif. Setiap kata-kata akan tertular dan menyusup ke pikiran anak-anak. Sehingga mereka akan menjadi tidak percaya diri tatkala direndahkan dan pastinya akan mematahkan semangat mereka.

Padahal sudah diketahui, manusia terlahir ke dunia ini dengan kesempurnaan. Kesempurnaan itu terlihat pada bagimana sistem otak manusia diciptakan oleh Tuhan sedemikian super duper canggih. Hal itu telah diketahui dari penelitian Dr. Roger W. Sperry yang menemukan bagian otak manusia menjadi dua bagian yakni hemisfer kanan (right hemisfer), dan otak kiri (left hemisfer).

Keseimbangan kedua bagian otak tersebut akan menentukan tingkat kecerdsasan manusia. Otak kiri merupakan pusat pengendali fungsi intelektual seperti daya ingat, bahasa, logika, perhitungan, daya analisis, dan pemikiran konvergen. Otak kanan berasarkan spontanitas dan pengendalian fungsi mental yang melibatkan intuisi, sikap, emosi, hubungan ruang dan dimensi, gambar, musik, dan irama gerak dan tari serta pikiran divergen.

Sebagai penyeimbang hasil temuan tersebut maka Stephen R. Covey dalam bukunya The Leader in Me membagi kehebatan manusia menjadi dua yaitu kehebatan primer dan kehebatn sekunder. Kehebatan sekunder berhubungan dengan jabatan atau titel, penghargaan, kekayaan, ketenaran, pangkat, atau prestasi istimewa. Dikatkannya bahwa kehebatan sekunder hanya dapat diraih segelintir orang, persentase yang sangat kecil dari populasi. Kehebatan sekunder sebagian besar ditentukan dari membandingkan seseorang dengan orang lain.

Adapun kehebatan primer menurut Covey berhubungan dengan integritas seseorang, etos kerja, cara memperlakukan orang lain, motif, dan tingkat inisiatifnya. Ini juga berhubungan dengan karakter seseorang, sumbangsih bakat, kreativitas, dan disiplinnya. Ini memwakili keperibadian seseorang sehari-hari, dan bukan apa yang ia milki atau prestasi sementaranya. Lanjutnya lagi, kehebatan utama tidak diukur dengan cara membandingkan orang lain. Tapi dengan mematuhi prinsip universal dan tanpa batas waktu. Dan dikatakan oleh covey bahwa itu adalah kerendahan hati.

Maka tidak ada alasan bagi seseorang (katakanlah guru) untuk memvonis orang lain dengan sebutan bodoh, meskipun ada sebagian anak yang memang memilki mental keterbelakangan. Namun sekali lagi kelebihannya akan bisa dimunculkan kepermukaan asalkan dengan sabar dan tekun. Di sinilah peran guru yang kreatif sehingga mampu meunmbuhkembangkan bakat yang miliki oleh anak-anak.

Menurut Howard Gardner dalam dunia pendidian tidak ada lagi dikotomi cerdas – tidak cerdas. Yang ada adalah anak potensial dalam hal ini dan itu. Maka tidak lah tepat bila kita mengatakan bahwa siswa itu bodoh, siswa ini pandai. Di sini justru yang terjadi adalah kegagalan seorang guru dalam membentuk karakter peserta didiknya.

John Holt mengatakan bahwa “Siswa mengajariku lebih banyak daripada yang dapat kuajarkan kepada mereka.” Jadi seharusnya para guru merenungi setiap apa yang disampaikan, apa yang dilakukan pada murid-muridnya. Guru harus selalu mawas diri, bercermin diri. Bukan bisanya menyampaiakan saja, namun tak mampu bertanggung jawab terhadap apa yang disampaikannya. Misalkan melarang siswa membuang sampah, tapi malah gurunya ketahuan membuang puntung rokok di sembarang tempat.

Jadi sebenarnya murid adalah sumber belajar bagi gurunya. Dari kehadiran murid tersebut mereka bisa tau banyak tenatang bagaimana mendidik yang baik., bagaimana memperlakuakn seseorang dengan baik, sampai pada bagaimana memberikan contoh yang baik. Karena murid bukanlah tempat mengajar, tetapi justru murid tempat mengasah diri. Sehingga dengan demikian akan timbul sikap kerendahan hari para guru dan membuatnya lebih santun kepada murid-muridnya. Akan timbul pula interaksi antara keduanya dan akhirnya memunculkan kasih sayang antara guru dan murid.

Kembali John Holt berpendapat bahwa bukan materi yang membuat suatu pembelajaran lebih berharga daripada yang lain, melainkan semangat dalam melaksanakan pembelajaran itu. Jadi bila tertanam sikap kekeluargaan yang tinggi di dunia sekolah serta kasih sayang yang mendalam maka suatu pembelajaran akan menjadi lebih tersentuh dan penuh semangat.

Sehingga sangat tepat sekali bila tertulis pada sebuah dinding sekolah yang mengatakan begini: “Dalam beberapa tahaun mendatang, siswa Anda mungkin lupa apa yang telahAnda ajarkan. Namun mereka akan selalu ingat perasaan seperti apa yang Anda berikan kepada mereka.” (Stephen R. Covey)

Oleh karena itu, hal pertama yang sangat perlu dilurusakan oleh seorang guru ketika ingin mengajar atau saat terjun ke dunia pendidikan adalah niat. Karena niat sendiri menyumbangkan karakter pada pendidikan. Niat yang baik tentu akan menghasilkan sesuatu yang baik. Imam Annawawi mengatakan bahwa niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya ketika niatnya benar, maka perbuatan itu benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk.

Kedua yang mungkin perlu dipertimbangkan juga adalah soal kemauan. Kemauan seseorang untuk menjadi guru haruslah bersumber dari hati nurani. Bila diumpamakan bahwa mengajar lebih kepada panggilan jiwa, bukan panggilan materi atau yang lainnya. Bila jiwa yang demikian dimilki oleh setiap pendidik, insayaAllah produk pendidikan tanah air akan menjadi lebih sehat.

Wallahua’lam bissawab.

------------------------
Penulis: Abdul Hayyi, S.S.
Anda juga bisa mengirim artikel melalui Pena Basindon
BASINDON
BASINDON Blog pelajaran bahasa Indonesia SMP/MTs (materi, soal, dan perangkat pembelajaran), serta Pengetahuan Bahasa dan Sastra Indonesia (umum)

Post a Comment for "Ketika Nilai Akademik Siswa Jelek, Apakah Kegagalan Guru Atau Kebodohan Siswa?"