Menemukan Tema, Latar, dan Penokohan dalam Cerpen "Hadiah Lebaran untuk Marni"
Menemukan Tema, Latar, dan Penokohan Cerpen "Hadiah Lebaran untuk Marni" | Cerpen "Hadiah Lebaran untuk Marni" merupakan salah satu cerpen karya Adji Subela dalam buku kumpulan cerpen "Pengantin Agung." Cerpen ini juga pernah terbit di majalah Idola No. 55, 1989.
Lihat juga:
Hari Raya Lebaran sebentar lagi tiba. Orang-orang sudah bersiap-siap meyambutnya. Mereka sudah membuat kue-kue untuk menjamu tamu mereka di Hari Raya Lebaran nanti. Kanak-kanak pun mulai bersiap-siap untuk bergembira di hari bahagia itu, hari kemenangan bagi kaum muslim. Mereka sudah mereka-reka baju barunya. Mereka menuntut orang tuanya untuk membelikan mereka baju yang indah-indah, tak kalah dengan teman-temannya yang lain.
Bukankah hari raya itu hari yang amat mereka tunggu-tunggu? Hari kemenangan? Setelah berpuasa sebulan lamanya?
Hari-hari gembira itu membuat Salamah sedih hatinya. Anak satu-satunya, Marni, tiada dapat gembira seperti teman-temanya yang lain. Marni tak punya baju baru. Tak punya sepatu baru. Dan makanan pun tak akan ada di rumah mereka di hari bahagia itu, di hari kemenangan kaum muslim setelah sebulan berpuasa. Tak ada uang buat membeli barang-barang itu.
Anak-anak akan gembira, karena kembang api, karena mercun, karena bunga. Mereka akan bersuka-ria karena makanan. Kue-kue yang lezat, dan harum. Alangkah bahagia mereka. tapi Marni? Ia akan menontonnya saja.
Salamah tak bisa berbuat apa-apa. Kaki kirinya kini sudah setengan lumpuh. Ia tidak akan selincah dulu lagi untuk menggendong barang-barang di pasar. Kini kuli penggendong barang-barang di pasar bertambah banyak. Muda-muda, jadi lebih kuat dan lebih tangkas. Salamah kini sudah tua, dan dengan kaki kiri setengah lumpuh. Ia tak akan selincah mereka.
Kemarin ia menggendong terigu setengah karung milik nyonya notaris. Hanya setengah karung! Seharusnya barang itu lebih cepat sampai ke mobil nyonya itu. Tapi kaki kirinya setengah lumpuh, dan terigu setengah karung tidaklah seringan dahulu lagi. Nafasnya tinggal satu persatu. Alangkah beratnya.
Dan ia menggendong terus dan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yang tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dan kaki kirinya setengah lumpuh. Alangkah sengsaranya orang seperti dia hendak mendapatkan dua ratus rupiah. Hanya dua ratus dan dia harus berjalan tersendat-sendat dan nafas tersengal-sengal. Untuk dua ratus perak, yang tak kenyang untuk berbuka puasa petang hari nanti.
Nyonya notaris sudah kesal menunggu Salamah di dekat mobilnya.
“Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.
“Maaf, Nya,” jawab Salamah dengan tersengal-sengal. Peluhnya bercucuran membasahi badan. Alangkah beratnya terigu ini. Terigu yang nanti akan diolah oleh ibu notaris itu jadi kue-kue lezat. Salamah yang menggendong terigunya, dengan tersengal-sengal nafasnya, tak akan ikut menikmatinya.
“Ayuh. Taruh di bagasi belakang. seperti keong jalanmu. Kau malas begitu tak usahlah kau bekerja. Pekerjaan apaan. Aku bisa pilih yang muda-muda.”
Salamah diam tak menjawab. Ia menyadari kekurangannya. Mereka, kuli gendong itu, jauh lebih muda darinya. Lebih kuat dan tentunya lebih banyak uang yang didapatnya. Uang dua ratus diterimanya dari nyonya notaris itu, dan disimpannya di setagen. Alangkah budimannya nyonya itu. Upahnya tidak dipotong, walau ia datang agak lambat. Alangkah budimannya keluarga itu. Mereka masih memberi kesempatan baginya untuk mendapatkan dua ratus rupiah. Walau jalannya lambat, terengah-engah dan begitu sengsara, kalau tak ada pemberian nyonya itu, mungkin ia akan kelaparan, tak bisa berbuka puasa dengan anaknya, Marni.
Salamah lalu berjalan menepi di emperan toko. Dia duduk kelelahan. Puasanya hari itu begitu berat. Dia dan Marni tak makan apa pun untuk sahur. Hanya minum air putih dari ledeng umum. Tak ada uang di setagennya lagi. Marni juga tidak.
Ya, Allah, ya, Tuhanku. Alangkah kasihannya anak itu, desis Salamah. Anak kecil dia harus menderita begitu berat. Sedangkan dia, yang sudah setua itu pun, hampir tak tahan lagi menerima kesengsaraan seperti ini. Satu-satunya tenaga hidup yang ia punya adalah Marni seorang. Anak semata wayang inilah yang membuat ia harus bertahan hidup. Marni harus makan. Marni harus kuat agar kelak, jika jadi buruh gendong, tidaklah selemah dia. Agar jangan kaki kirinya setengah lumpuh seperti dia.
Salamah berhenti melamun. Di kejauhan dilihatnya anaknya berjalan miring-miring. Tentunya anak itu sudah lemah sekali. Kemarin ia hanya berbuka puasa dengan sepotong ubi rebus dan air putih, mentah. Pagi tadi ia tidak sahur apa-apa, kembali hanya meminum air putih, air ledeng. Tentunya badannya lemah sekali. Salamah tak pedulikan dirinya. Dia dulu pernah minum susu milk kalengan. Enak sekali. ketika itu kakek Marni masih menjabat sebagai lurah di sebuah desa. Lurah yang kaya, banyak sawah dan ladang.
Lepas maghrib nanti, mereka akan berbuka puasa. Berdua. Dua ratus rupiah, hasil pagi tadi, akan mendapat empat potong ubi rebus. Tapi kali ini Salamah akan membelanjakan uang hasil jerih payahnya hanya seratus rupiah, jadi mendapatkan dua potong ubi rebus. Seratus rupiahnya lagi akan disimpannya di setagennya. Sepotong ubi rebus akan diberikannya kepada Marni dan ditambah lagi separuh, sedangkan ia cukup separuh sisanya saja. Lalu keduanya akan bersama-sama minum air ledeng banyak-banyak. Kalau nasip lebih beruntung, selasai salat maghrib mereka akan mendapat makanan di mesjid. Tapi keduanya terlalu lemah untuk berebut. Mereka akan kalah dengan orang-orang yang kuat. Maklum, nakanan hanya sedikit tersedia di mesjid. Sedangkan orang yang bersembahyang begitu banyak. Dan nampaknya air ledeng amat menolongnya, kendati perut jadi kembung dan terasa hendak muntah.
“Emak, berapa lama lagi bedug maghrib berbunyi?” tanya Marni sambil mendekat padanya dan kemudian duduk menyandarkan kepalanya di punggung Salamah. Angin sore itu bertiup kencang, menghempas-hempas rumbia gubugnya di bawah jembatan.
“Sebentar Nak, sebentar lagi. Lihat, langit sudah mulai memerah. Itu pertanda matahai mau tenggelam dan maghrib tiba. Kau sudah mulai lapar?”
“Tidak Mak, tapi badan Marni lemas sekali. Kenapa Mak?”
“Enggak apa-apa. Sebentar lagi bedug berbunyi.”
“Mak, lihat! Langit mulai merah. Kenapa bedug belum berbunyi?” seru Marni dengan riangnya.
Salamah tersenyum, lemah sekali.
“Mak, ayah mungkin ada di langit sana ya Mak?” tanya gadis cilik, buah hati satu-satunya itu.
“Mungkin, Nak, mungkin,” jawab Salamah.
Marni lalu diam. Matanya yang bulat bening itu berkilat-kilat menatap langit. Ia mengira ayahnya ada di sana, di atas awan, menari-nari dan melemparkan hadiah Lebaran untuknya. Emaknya belum juga memberinya hadiah lebaran.
“Mak, Saijah tadi diberi hadiah emaknya. Baju bagus sekali, Mak. Ada bunga di dadanya. Merah. Dua. Di sini Mak, lihatlah...” ujar Marni sambil berdiri dan memegang dadanya.
“Kalau Husin dapat sepatu, Mak. Sepatu tinggi segini, Mak...,” ujarnya lagi sambil memegang mata kakinya.
Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut. Takut mengundang amarahnya. Tapi tidak sayangku, bisik Salamah dalam hati. Kau terlalu baik anakku. Kau tidak melawan jika aku tidak memberimu uang.... Kau tidak minta apa-apa karena kau tahu betul betapa ibumu ini melarat. Melarat sekali. Kau tidak pernah merengek minta dibelikan mainan. Anakku, ini yang membuat aku begitu terenyuh kepadamu. Kau begitu tabah menghadapi hidup kita yang sengsara ini, Marni....
Salamah tak kuasa membendung tangisnya. Ia pelan-pelan bangkit, lalu merebahkan badannya ke tikar. Ya Allah, biarkan aku menangis. Biarkan aku mati asalkan Marni, si anak manis itu mendapatkan RahmatMu ya Tuhan...
Marni, bagaimana pun perlu punya sesuatu yang baru untuk lebaran nanti. Ia tak boleh kecewa. Ia tak boleh bersedih hati. Hari Lebaran adalah hari kemengan umat Islam. Marni tak boleh bersedih hati. Ia harus mendapatkan sesuatu. Lebaran kurang tiga hari lagi.
Marni amat ketakutan melihat emaknya menangis.
“Mak, Emak.....,” hanya itu ucapan yang keluar dari mulutnya yang mungil. Ia tak tahu kenapa emaknya menangis.
***
ESOKNYA Salamat tertatih-tatih membawa Marni ke pasar. Badan Salamah lesu sekali rasanya pagi ini. Pagi tadi tidak makan sahur, sama seperti biasanya, hanya air putih dari ledeng umum. Dan semalam Marni mendapat sepotong ubi rebus ditambah setengah potong tambahan. Masih ada uang sisa di setagennya. Marni harus mendapatkan sesuatu untuk hari raya lusa. Marni harus mendapatkan sesuatu, pikir Salamah.
Di trotoar orang ramai berdagang. Ada baju baru-baru. Ada sepatu baru-baru. Ada makanan kaleng yang tentunya lezat-lezat rasanya. Marni cuma melihat barang-barang itu. Ia menikmatinya hanya dengan memandang. Ia tak berani meminta kepada emaknya. Ia takut. Emak tak punya uang. Tapi ia ingin sekali mendapatkan sepatu seperti Husin. Atau gaun yang berbunga-bungan di dadanya. Tapi ia takut.
Salamah sudah tahu-diri benar. Harga barang-barang itu mahal sekali. Ia tak akan mampu membelinya. Tapi Marni harus mendapatkan sesutu untuk Lebaran.
Di ujung trotoar itu ada pedagang barang-barang loak. Ia menjual baju-baju bekas, kebaya bekas, dan masih banyak lagi yang lain. Ke sanalah Salamah dan anaknya pergi. Namun hatinya amat sedih. Rok kecil bekas, harganya seribu rupiah. Sepatu bekas, harganya dua ribu rupiah. Apa yang harus diberikannya kepada anaknya yang manis ini?
Ia cuma berdiri terpaku di depan tukang loak itu. Dilihatnya di keranjang tukang loak itu sepasang sandal jepit kecil yang sudah bekas pula. Nampaknya hanya ini yang bisa dibelinya.
Lalu dengan keberanian yang luar biasa, ditanyakannya berapa harga sandal jepit bekas itu.
“Dua ratus rupiah,” jawab tukang loak dengan acuh tak acuh.
Hatinya semakin teriris. Sedangkan Marni memandang sandal itu dengan mata berkilat-kilat. Alangkah sedihnya hati Salamah.
“Seratus rupiah, Bang,” tawarnya.
Tukang loak itu tak menjawab, cuma menggelengkan kepalanya. Congkaknya orang itu. Salamah tak segera beranjak dari tempatnya. Ia kini amat menyesal, kenapa pagi ini tidak mencari barang untuk digendongnya. Ia akan mendapat dua ratus lagi. Tapi badannya memang lemas pagi ini. Tak mungkin ia mengangkat yang lebih berat dari terigu setengah karung. Maka paling-paling seratus rupiah yang didapatnya. Tapi seratus rupiah amatlah lumayan. Dengan uang seratus lagi di setagennya, berarti dua ratus rupiah terkumpul dan cukup buat membeli sandal jepit bekat itu.
Marni sudah ingin mendapatkan sandal bekas itu. Ketika Salamah menariknya untuk pergi, Marni menangis. Amat pilu tangisan anak perempua itu! Hati salamah semakin hancur luluh.
Baru kali ini Marni menangis untuk sepasang sandal. Sandal yang sudah bekas pakai. Ia anak yang manis, yang tak pernah meminta sesuatu pada emaknya. Oh, Tuhan! Tangis Marni begitu memilukan. Dan tukang loak itu begitu terpaku melihat adegan di depannya. Dan tiba-tiba sinar kasih Allah muncul di sanubarinya.
“Baiklah, seratus rupiah,” katanya kemudian.
O, alangkah girangnya Marni mendapatkan sandal baru untuk berlebaran. Sandal kecil bekas pakai. Barang itu lalu dibungkus dan diserahkan kepada Marni. Lihatlah betapa gembiranya gadis cilik itu. dipeluknya bungkusan dengan erat, seakan takut barang itu lepas daripadanya.
Diciumnya dan ditimang-timangnya. Senandung kecil terdengar dari mulutnya yang mungil.....
Hari Raya Lebaran tiba. Selesai bersembahyang Ied, orang ramai-ramai saling bertandang dan bersalam-salaman. Mereka makan dan minum dengan riangnya. Kue-kue lezat dihidangkan. Anak-anaknya memakai baju baru. Begitu indah. Suka cita mewarnai mereka.
Di bawah jembatan, di dalam gubug, seorang gadis kecil menunggui emaknya. Ia begitu girang dan bersuka cita pula. Sandal jepit kecil ditimang-timangnya. Amat sayang ia kepada sandalnya. Senandung-senandung kecil keluar keluar dari mulutnya yang mungil. Sandal pemberian emak tidak akan dipakainya. Sayang sekali, nanti rusak, pikirnya.
Di depannya, emaknya tergolek lemas. Badannya menderita sakit panas. Lambung bagian kanannya membengkak. Nampaknya sakit levernya kambuh lagi. sudah berhari-hari ia tak cukup makan, dan tenaganya terlalu banyak dikuras. Salamah, di hari lebaran itu hanya berbaring karena tak kuat lagi menegakkan tubuhnya. Marni yang manis, anak manis semata wayangnya, menungguinya, sementara takbir terdengar lamat-lamat... Allahu Akbar... Allah Akbar... Allahu Akbar...
Allah Maha Besar, bahkan untuk orang kecil.
Tema, Latar , dan Penokohan Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”
Tema Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”
Secara umum tema yang terkandung dalam “Hadiah Lebaran untuk Marni” adalah kisah kehidupan keluarga fakir yang bertahan hidup di bawah kolong-kolong jembatan di perkotaan.
Sedangkan secara khusus tema cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” adalah kisah pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu (Salamah) yang ingin membahagiakan anaknya (Marni).
Latar Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”
Latar dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” terdiri atas latar tempat, latar waktu, dan latar suasana.
1. Latar tempat
Di pasar:
Sore hari:
Latara suasana dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” terdiri atas latar suasana batin latar suasana keadaan.
Latar suasana batin
Girang, gembira:
Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut.
Latar suasana keadaan
Ramai berdesakan:
Penokohan Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”
Tokoh-tokoh yang berperan dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” yakni: Marni, Salamah, Nyonya, dan Tukang Loak
1. Salamah: Dilihat dari segi fisik, tokoh salamah adalah seorang wanita tua yang kaki kirinya setengah lumpuh. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
Salamah adalah tokoh yang penuh pengorbanan, dan sangat menyayangi anaknya:
Nyonya Notaris adalah gambaran seorang tokoh yang berwatak keras dan kasar. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
Tukang loak pada cerpen ini adalah seorang pedagang yang memiliki sifat acuh tak acuh, tidak peduli, serta pelit.
Bukti kutipan:
Lihat juga:
Hadiah Lebaran untuk Marni
Bukankah hari raya itu hari yang amat mereka tunggu-tunggu? Hari kemenangan? Setelah berpuasa sebulan lamanya?
Hari-hari gembira itu membuat Salamah sedih hatinya. Anak satu-satunya, Marni, tiada dapat gembira seperti teman-temanya yang lain. Marni tak punya baju baru. Tak punya sepatu baru. Dan makanan pun tak akan ada di rumah mereka di hari bahagia itu, di hari kemenangan kaum muslim setelah sebulan berpuasa. Tak ada uang buat membeli barang-barang itu.
Anak-anak akan gembira, karena kembang api, karena mercun, karena bunga. Mereka akan bersuka-ria karena makanan. Kue-kue yang lezat, dan harum. Alangkah bahagia mereka. tapi Marni? Ia akan menontonnya saja.
Salamah tak bisa berbuat apa-apa. Kaki kirinya kini sudah setengan lumpuh. Ia tidak akan selincah dulu lagi untuk menggendong barang-barang di pasar. Kini kuli penggendong barang-barang di pasar bertambah banyak. Muda-muda, jadi lebih kuat dan lebih tangkas. Salamah kini sudah tua, dan dengan kaki kiri setengah lumpuh. Ia tak akan selincah mereka.
Kemarin ia menggendong terigu setengah karung milik nyonya notaris. Hanya setengah karung! Seharusnya barang itu lebih cepat sampai ke mobil nyonya itu. Tapi kaki kirinya setengah lumpuh, dan terigu setengah karung tidaklah seringan dahulu lagi. Nafasnya tinggal satu persatu. Alangkah beratnya.
Dan ia menggendong terus dan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yang tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dan kaki kirinya setengah lumpuh. Alangkah sengsaranya orang seperti dia hendak mendapatkan dua ratus rupiah. Hanya dua ratus dan dia harus berjalan tersendat-sendat dan nafas tersengal-sengal. Untuk dua ratus perak, yang tak kenyang untuk berbuka puasa petang hari nanti.
Nyonya notaris sudah kesal menunggu Salamah di dekat mobilnya.
“Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.
“Maaf, Nya,” jawab Salamah dengan tersengal-sengal. Peluhnya bercucuran membasahi badan. Alangkah beratnya terigu ini. Terigu yang nanti akan diolah oleh ibu notaris itu jadi kue-kue lezat. Salamah yang menggendong terigunya, dengan tersengal-sengal nafasnya, tak akan ikut menikmatinya.
“Ayuh. Taruh di bagasi belakang. seperti keong jalanmu. Kau malas begitu tak usahlah kau bekerja. Pekerjaan apaan. Aku bisa pilih yang muda-muda.”
Salamah diam tak menjawab. Ia menyadari kekurangannya. Mereka, kuli gendong itu, jauh lebih muda darinya. Lebih kuat dan tentunya lebih banyak uang yang didapatnya. Uang dua ratus diterimanya dari nyonya notaris itu, dan disimpannya di setagen. Alangkah budimannya nyonya itu. Upahnya tidak dipotong, walau ia datang agak lambat. Alangkah budimannya keluarga itu. Mereka masih memberi kesempatan baginya untuk mendapatkan dua ratus rupiah. Walau jalannya lambat, terengah-engah dan begitu sengsara, kalau tak ada pemberian nyonya itu, mungkin ia akan kelaparan, tak bisa berbuka puasa dengan anaknya, Marni.
Salamah lalu berjalan menepi di emperan toko. Dia duduk kelelahan. Puasanya hari itu begitu berat. Dia dan Marni tak makan apa pun untuk sahur. Hanya minum air putih dari ledeng umum. Tak ada uang di setagennya lagi. Marni juga tidak.
Ya, Allah, ya, Tuhanku. Alangkah kasihannya anak itu, desis Salamah. Anak kecil dia harus menderita begitu berat. Sedangkan dia, yang sudah setua itu pun, hampir tak tahan lagi menerima kesengsaraan seperti ini. Satu-satunya tenaga hidup yang ia punya adalah Marni seorang. Anak semata wayang inilah yang membuat ia harus bertahan hidup. Marni harus makan. Marni harus kuat agar kelak, jika jadi buruh gendong, tidaklah selemah dia. Agar jangan kaki kirinya setengah lumpuh seperti dia.
Salamah berhenti melamun. Di kejauhan dilihatnya anaknya berjalan miring-miring. Tentunya anak itu sudah lemah sekali. Kemarin ia hanya berbuka puasa dengan sepotong ubi rebus dan air putih, mentah. Pagi tadi ia tidak sahur apa-apa, kembali hanya meminum air putih, air ledeng. Tentunya badannya lemah sekali. Salamah tak pedulikan dirinya. Dia dulu pernah minum susu milk kalengan. Enak sekali. ketika itu kakek Marni masih menjabat sebagai lurah di sebuah desa. Lurah yang kaya, banyak sawah dan ladang.
Lepas maghrib nanti, mereka akan berbuka puasa. Berdua. Dua ratus rupiah, hasil pagi tadi, akan mendapat empat potong ubi rebus. Tapi kali ini Salamah akan membelanjakan uang hasil jerih payahnya hanya seratus rupiah, jadi mendapatkan dua potong ubi rebus. Seratus rupiahnya lagi akan disimpannya di setagennya. Sepotong ubi rebus akan diberikannya kepada Marni dan ditambah lagi separuh, sedangkan ia cukup separuh sisanya saja. Lalu keduanya akan bersama-sama minum air ledeng banyak-banyak. Kalau nasip lebih beruntung, selasai salat maghrib mereka akan mendapat makanan di mesjid. Tapi keduanya terlalu lemah untuk berebut. Mereka akan kalah dengan orang-orang yang kuat. Maklum, nakanan hanya sedikit tersedia di mesjid. Sedangkan orang yang bersembahyang begitu banyak. Dan nampaknya air ledeng amat menolongnya, kendati perut jadi kembung dan terasa hendak muntah.
“Emak, berapa lama lagi bedug maghrib berbunyi?” tanya Marni sambil mendekat padanya dan kemudian duduk menyandarkan kepalanya di punggung Salamah. Angin sore itu bertiup kencang, menghempas-hempas rumbia gubugnya di bawah jembatan.
“Sebentar Nak, sebentar lagi. Lihat, langit sudah mulai memerah. Itu pertanda matahai mau tenggelam dan maghrib tiba. Kau sudah mulai lapar?”
“Tidak Mak, tapi badan Marni lemas sekali. Kenapa Mak?”
“Enggak apa-apa. Sebentar lagi bedug berbunyi.”
“Mak, lihat! Langit mulai merah. Kenapa bedug belum berbunyi?” seru Marni dengan riangnya.
Salamah tersenyum, lemah sekali.
“Mak, ayah mungkin ada di langit sana ya Mak?” tanya gadis cilik, buah hati satu-satunya itu.
“Mungkin, Nak, mungkin,” jawab Salamah.
Marni lalu diam. Matanya yang bulat bening itu berkilat-kilat menatap langit. Ia mengira ayahnya ada di sana, di atas awan, menari-nari dan melemparkan hadiah Lebaran untuknya. Emaknya belum juga memberinya hadiah lebaran.
“Mak, Saijah tadi diberi hadiah emaknya. Baju bagus sekali, Mak. Ada bunga di dadanya. Merah. Dua. Di sini Mak, lihatlah...” ujar Marni sambil berdiri dan memegang dadanya.
“Kalau Husin dapat sepatu, Mak. Sepatu tinggi segini, Mak...,” ujarnya lagi sambil memegang mata kakinya.
Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut. Takut mengundang amarahnya. Tapi tidak sayangku, bisik Salamah dalam hati. Kau terlalu baik anakku. Kau tidak melawan jika aku tidak memberimu uang.... Kau tidak minta apa-apa karena kau tahu betul betapa ibumu ini melarat. Melarat sekali. Kau tidak pernah merengek minta dibelikan mainan. Anakku, ini yang membuat aku begitu terenyuh kepadamu. Kau begitu tabah menghadapi hidup kita yang sengsara ini, Marni....
Salamah tak kuasa membendung tangisnya. Ia pelan-pelan bangkit, lalu merebahkan badannya ke tikar. Ya Allah, biarkan aku menangis. Biarkan aku mati asalkan Marni, si anak manis itu mendapatkan RahmatMu ya Tuhan...
Marni, bagaimana pun perlu punya sesuatu yang baru untuk lebaran nanti. Ia tak boleh kecewa. Ia tak boleh bersedih hati. Hari Lebaran adalah hari kemengan umat Islam. Marni tak boleh bersedih hati. Ia harus mendapatkan sesuatu. Lebaran kurang tiga hari lagi.
Marni amat ketakutan melihat emaknya menangis.
“Mak, Emak.....,” hanya itu ucapan yang keluar dari mulutnya yang mungil. Ia tak tahu kenapa emaknya menangis.
***
ESOKNYA Salamat tertatih-tatih membawa Marni ke pasar. Badan Salamah lesu sekali rasanya pagi ini. Pagi tadi tidak makan sahur, sama seperti biasanya, hanya air putih dari ledeng umum. Dan semalam Marni mendapat sepotong ubi rebus ditambah setengah potong tambahan. Masih ada uang sisa di setagennya. Marni harus mendapatkan sesuatu untuk hari raya lusa. Marni harus mendapatkan sesuatu, pikir Salamah.
Di trotoar orang ramai berdagang. Ada baju baru-baru. Ada sepatu baru-baru. Ada makanan kaleng yang tentunya lezat-lezat rasanya. Marni cuma melihat barang-barang itu. Ia menikmatinya hanya dengan memandang. Ia tak berani meminta kepada emaknya. Ia takut. Emak tak punya uang. Tapi ia ingin sekali mendapatkan sepatu seperti Husin. Atau gaun yang berbunga-bungan di dadanya. Tapi ia takut.
Salamah sudah tahu-diri benar. Harga barang-barang itu mahal sekali. Ia tak akan mampu membelinya. Tapi Marni harus mendapatkan sesutu untuk Lebaran.
Di ujung trotoar itu ada pedagang barang-barang loak. Ia menjual baju-baju bekas, kebaya bekas, dan masih banyak lagi yang lain. Ke sanalah Salamah dan anaknya pergi. Namun hatinya amat sedih. Rok kecil bekas, harganya seribu rupiah. Sepatu bekas, harganya dua ribu rupiah. Apa yang harus diberikannya kepada anaknya yang manis ini?
Ia cuma berdiri terpaku di depan tukang loak itu. Dilihatnya di keranjang tukang loak itu sepasang sandal jepit kecil yang sudah bekas pula. Nampaknya hanya ini yang bisa dibelinya.
Lalu dengan keberanian yang luar biasa, ditanyakannya berapa harga sandal jepit bekas itu.
“Dua ratus rupiah,” jawab tukang loak dengan acuh tak acuh.
Hatinya semakin teriris. Sedangkan Marni memandang sandal itu dengan mata berkilat-kilat. Alangkah sedihnya hati Salamah.
“Seratus rupiah, Bang,” tawarnya.
Tukang loak itu tak menjawab, cuma menggelengkan kepalanya. Congkaknya orang itu. Salamah tak segera beranjak dari tempatnya. Ia kini amat menyesal, kenapa pagi ini tidak mencari barang untuk digendongnya. Ia akan mendapat dua ratus lagi. Tapi badannya memang lemas pagi ini. Tak mungkin ia mengangkat yang lebih berat dari terigu setengah karung. Maka paling-paling seratus rupiah yang didapatnya. Tapi seratus rupiah amatlah lumayan. Dengan uang seratus lagi di setagennya, berarti dua ratus rupiah terkumpul dan cukup buat membeli sandal jepit bekat itu.
Marni sudah ingin mendapatkan sandal bekas itu. Ketika Salamah menariknya untuk pergi, Marni menangis. Amat pilu tangisan anak perempua itu! Hati salamah semakin hancur luluh.
Baru kali ini Marni menangis untuk sepasang sandal. Sandal yang sudah bekas pakai. Ia anak yang manis, yang tak pernah meminta sesuatu pada emaknya. Oh, Tuhan! Tangis Marni begitu memilukan. Dan tukang loak itu begitu terpaku melihat adegan di depannya. Dan tiba-tiba sinar kasih Allah muncul di sanubarinya.
“Baiklah, seratus rupiah,” katanya kemudian.
O, alangkah girangnya Marni mendapatkan sandal baru untuk berlebaran. Sandal kecil bekas pakai. Barang itu lalu dibungkus dan diserahkan kepada Marni. Lihatlah betapa gembiranya gadis cilik itu. dipeluknya bungkusan dengan erat, seakan takut barang itu lepas daripadanya.
Diciumnya dan ditimang-timangnya. Senandung kecil terdengar dari mulutnya yang mungil.....
Hari Raya Lebaran tiba. Selesai bersembahyang Ied, orang ramai-ramai saling bertandang dan bersalam-salaman. Mereka makan dan minum dengan riangnya. Kue-kue lezat dihidangkan. Anak-anaknya memakai baju baru. Begitu indah. Suka cita mewarnai mereka.
Di bawah jembatan, di dalam gubug, seorang gadis kecil menunggui emaknya. Ia begitu girang dan bersuka cita pula. Sandal jepit kecil ditimang-timangnya. Amat sayang ia kepada sandalnya. Senandung-senandung kecil keluar keluar dari mulutnya yang mungil. Sandal pemberian emak tidak akan dipakainya. Sayang sekali, nanti rusak, pikirnya.
Di depannya, emaknya tergolek lemas. Badannya menderita sakit panas. Lambung bagian kanannya membengkak. Nampaknya sakit levernya kambuh lagi. sudah berhari-hari ia tak cukup makan, dan tenaganya terlalu banyak dikuras. Salamah, di hari lebaran itu hanya berbaring karena tak kuat lagi menegakkan tubuhnya. Marni yang manis, anak manis semata wayangnya, menungguinya, sementara takbir terdengar lamat-lamat... Allahu Akbar... Allah Akbar... Allahu Akbar...
Allah Maha Besar, bahkan untuk orang kecil.
Tema, Latar , dan Penokohan Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”
Tema Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”
Secara umum tema yang terkandung dalam “Hadiah Lebaran untuk Marni” adalah kisah kehidupan keluarga fakir yang bertahan hidup di bawah kolong-kolong jembatan di perkotaan.
Sedangkan secara khusus tema cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” adalah kisah pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu (Salamah) yang ingin membahagiakan anaknya (Marni).
Latar Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”
1. Latar tempat
Di pasar:
Dan ia menggendong terus dan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yang tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari.Di bawah jembatan di dalam gubuk:
Di bawah jembatan, di dalam gubug, seorang gadis kecil menunggui emaknya. Ia begitu girang dan bersuka cita pula.Di trotoar
Di trotoar orang ramai berdagang. Ada baju baru-baru. Ada sepatu baru-baru. Ada makanan kaleng yang tentunya lezat-lezat rasanya. Marni cuma melihat barang-barang itu.2. Latar waktu
Sore hari:
“Sebentar Nak, sebentar lagi. Lihat, langit sudah mulai memerah. Itu pertanda matahai mau tenggelam dan maghrib tiba. Kau sudah mulai lapar?”Bulan puasa:
Lepas maghrib nanti, mereka akan berbuka puasa. Berdua. Dua ratus rupiah, hasil pagi tadi, akan mendapat empat potong ubi rebus.Saat Lebaran:
Hari Raya Lebaran tiba. Selesai bersembahyang Ied, orang ramai-ramai saling bertandang dan bersalam-salaman.3. Latar suasana
Latara suasana dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” terdiri atas latar suasana batin latar suasana keadaan.
Latar suasana batin
Girang, gembira:
O, alangkah girangnya Marni mendapatkan sandal baru untuk berlebaran. Sandal kecil bekas pakai. Barang itu lalu dibungkus dan diserahkan kepada Marni. Lihatlah betapa gembiranya gadis cilik itu. dipeluknya bungkusan dengan erat, seakan takut barang itu lepas daripadanya.
Diciumnya dan ditimang-timangnya. Senandung kecil terdengar dari mulutnya yang mungil.....Pedih, sedih:
Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut.
Latar suasana keadaan
Ramai berdesakan:
Dan ia menggendong terus dan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yang tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dan kaki kirinya setengah lumpuh.Tegang:
Nyonya notaris sudah kesal menunggu Salamah di dekat mobilnya.
“Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.
Penokohan Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”
Tokoh-tokoh yang berperan dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” yakni: Marni, Salamah, Nyonya, dan Tukang Loak
1. Salamah: Dilihat dari segi fisik, tokoh salamah adalah seorang wanita tua yang kaki kirinya setengah lumpuh. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
Salamah tak bisa berbuat apa-apa. Kaki kirinya kini sudah setengan lumpuh. Ia tidak akan selincah dulu lagi untuk menggendong barang-barang di pasar. Kini kuli penggendong barang-barang di pasar bertambah banyak. Muda-muda, jadi lebih kuat dan lebih tangkas. Salamah kini sudah tua, dan dengan kaki kiri setengah lumpuh. Ia tak akan selincah mereka.Sedangkan segi fsikis, terdapat beberapa karakter yang dimiliki oleh tokoh Salamah sebagai berikut.
Salamah adalah tokoh yang penuh pengorbanan, dan sangat menyayangi anaknya:
ESOKNYA Salamat tertatih-tatih membawa Marni ke pasar. Badan Salamah lesu sekali rasanya pagi ini. Pagi tadi tidak makan sahur, sama seperti biasanya, hanya air putih dari ledeng umum. Dan semalam Marni mendapat sepotong ubi rebus ditambah setengah potong tambahan. Masih ada uang sisa di setagennya. Marni harus mendapatkan sesuatu untuk hari raya lusa. Marni harus mendapatkan sesuatu, pikir Salamah.Salamah adalah pekerja keras:
Dan ia menggendong terus dan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yang tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dan kaki kirinya setengah lumpuh. Alangkah sengsaranya orang seperti dia hendak mendapatkan dua ratus rupiah. Hanya dua ratus dan dia harus berjalan tersendat-sendat dan nafas tersengal-sengal. Untuk dua ratus perak, yang tak kenyang untuk berbuka puasa petang hari nanti.2. Marni: adalah seorang anak kecil yang hidup bersama ibunya Marni. Terdapat beberapa karakter dari tokoh marni seperti berikut ini.
Marni adalah seorang tokoh yang baik, tabah dalam menghadapi ujian hidupMarni adalah seorang anak yang tidak pernah meminta sesuatu pada orang tuanya.
Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut. Takut mengundang amarahnya. Tapi tidak sayangku, bisik Salamah dalam hati. Kau terlalu baik anakku. Kau tidak melawan jika aku tidak memberimu uang.... Kau tidak minta apa-apa karena kau tahu betul betapa ibumu ini melarat. Melarat sekali. Kau tidak pernah merengek minta dibelikan mainan. Anakku, ini yang membuat aku begitu terenyuh kepadamu. Kau begitu tabah menghadapi hidup kita yang sengsara ini, Marni....
......................Ia anak yang manis, yang tak pernah meminta sesuatu pada emaknya. Oh, Tuhan! Tangis Marni begitu memilukan.3. Nyonya Notaris
Nyonya Notaris adalah gambaran seorang tokoh yang berwatak keras dan kasar. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
“Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.Budiman:
.................................
“Ayuh. Taruh di bagasi belakang. seperti keong jalanmu. Kau malas begitu tak usahlah kau bekerja. Pekerjaan apaan. Aku bisa pilih yang muda-muda.”
Di samping berwatak keras dan kasar, Nyonya Notaris bersifat budiman menurut ukuran orang miskin seperti Salamah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.4. Tukang Loak
Alangkah budimannya nyonya itu. Upahnya tidak dipotong, walau ia datang agak lambat. Alangkah budimannya keluarga itu. Mereka masih memberi kesempatan baginya untuk mendapatkan dua ratus rupiah. Walau jalannya lambat, terengah-engah dan begitu sengsara, kalau tak ada pemberian nyonya itu, mungkin ia akan kelaparan, tak bisa berbuka puasa dengan anaknya, Marni.
Tukang loak pada cerpen ini adalah seorang pedagang yang memiliki sifat acuh tak acuh, tidak peduli, serta pelit.
Bukti kutipan:
Lalu dengan keberanian yang luar biasa, ditanyakannya berapa harga sandal jepit bekas itu.
“Dua ratus rupiah,” jawab tukang loak dengan acuh tak acuh.
Hatinya semakin teriris. Sedangkan Marni memandang sandal itu dengan mata berkilat-kilat. Alangkah sedihnya hati Salamah.
“Seratus rupiah, Bang,” tawarnya.
Tukang loak itu tak menjawab, cuma menggelengkan kepalanya. Congkaknya orang itu. Salamah tak segera beranjak dari tempatnya.
Post a Comment for "Menemukan Tema, Latar, dan Penokohan dalam Cerpen "Hadiah Lebaran untuk Marni""
"Berkomentarlah dengan santun dan bermartabat."